Senin, 11 Februari 2019

FALLEN ANGEL


             
BAB I
AL. Sadei
Gedung Gramedia dipenuhi pengunjung karena ada jumpa penulis novel remaja di sana yaitu, AL. Sadei. Seorang wanita usia dua puluh tujuh tahun sedang dikerubuti oleh para penggemar novelnya, agar novel yang mereka beli ditandatangi oleh penulis kesayangan mereka. Setelah acara bedah buku sekalian peluncuran perdana novel terbaru dengan judul ‘Rahasia Hati’ yang diterbitkan sebanyak 10.000 eksemplar untuk seluruh Indonesia.
Tidak kurang dari dua jam acara itu berlangsung, AL. Sadei hanya ditemani oleh pihak penerbit yang tadi memberikan sedikit mukadimah tentang karya ke tujuh  yang ditulis AL. Sadei yang mereka terbitkan. Sebelumnya AL. Sadei telah mengatakan kepada pengunjung bahwa novel itu ia tulis dalam waktu dua bulan saja. Bagi penulis senior mungkin bisa dibilang terlalu lama, tapi bagi AL. Sadei menulis novel itu termasuk singkat karena ia bisa menulis novel dalam waktu tiga bulan bahkan lebih, ada juga bisa selesai dalam satu bulan untuk ukuran 150-200 halaman. Tapi novel AL. Sadei bisa sampai empat bahkan tujuh kali cetak ulang, namun sering juga hanya satu kali cetak dalam satu judul.
Beberapa pengunjung mendapat hadiah novel karena berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang disediakan oleh panitia dari toko dan juga tanda tangan  dari AL. Sadei sekaligus foto bersama. Sebelum bubar AL. Sadei bicara kepada pimpinan redaksi  penerbitnya seolah candaan saja.
“Mitha, dalam beberapa minggu ke depan aku ingin istirahat dulu.”
Wanita yang bernama Mitha itu melirik AL. Sadei dengan mimik lucu. “Kenapa, mau semedi cari ilham? Hehehe… kamu ini ada-ada saja.”
“Ngapain cari ilham, ilham sih tidak usah dicari kalau sudah datang ia akan datang sendiri seperti tamu tanpa diundang. Ya sudah, aku mau pulang, kamu cepat sana… pacarmu sudah menunggu tuh.” Goda AL. Sadei.
AL. Sadei telah menyelesaikan sesi acara itu kini ia akan kembali ke tempat kosnya di kawasan Cinere. Dari lantai tiga gedung Gramedia AL. Sadei sudah mengenakan kacamatanya lalu turun melewati  lantai yang menjual berbagai merek  pakaian terkenal sebab toko Gramedia ada di dalam sebuah Mall besar. Beberapa wartawan On-Line sudah menulis apa yang AL. Sadei bicarakan di acara tadi, dalam hitungan menit artikel mereka akan muncul di dunia maya khusus untuk para manusia yang mencari berita di dunia yang saat ini sudah melaju dengan pesat, dulu beberapa orang memandangnya sebagai dunia sesat.
Wanita dengan celana jins sekaligus kaus lengan panjang itu sudah memasuki area parkir motor yang ada di lantai satu. Sejenak ia mengecek ponsel yang ada dikantong celana jinsnya tanpa mengeluarkan dari dalam kantong hanya untuk memastikan ponselnya masih ada. Ia mengenakan jaket kulit dan terakhir memasang helmnya tanpa bisa menutupi rambut panjang yang ia ikat seperti ekor kuda.
Melewati petugas parkir ia masih terlihat tenang dan merasa lega karena acara bedah bukunya berjalan dengan lancar. Setelah melewati halaman gedung Mall ia merasa ada sesuatu menyapanya, rasa rindu pada seseorang. Motor matic yang membawa tubuh semampai itu terlihat berjalan dengan stabil dengan kecepatan biasa namun rasa kangennya seperti  meluncur pada kecepatan diatas  seratus meter perjam. AL. Sadei menarik napas beberapa kali, rasa benci dan kangen sepertinya sedang berperang hebat di dalam dadanya. Tas ransel tipis menempel di punggung meski isinya hanya sebuah laptop dan beberapa surat seakan tidak terasa berat. Sebuah motor besar tiba-tiba lewat di depan AL. Sadei dengan kecepatan tinggi untuk buru-buru berbelok ke sebuah gang yang ada di kiri motor AL. Sadei, dan saat itu lampu sign belakang motor besar itu menyentuh ban depan motor AL. Sadei bersamaan dengan bergetarnya ponsel di dalam kantong celananya karena ada SMS masuk. Motor matic itu terlempar tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya sedang yang punya motor besar itu sudah melesat meninggalkan korbannya tanpa ada satupun yang bisa melihatnya dengan jelas. AL. Sadei jatuh sedang kepala yang terbungkus helm membentur pembatas jalan dengan sangat keras. Beberapa orang berhenti melihat kecelakaan itu dan sebuah mobil pik-up yang ada dibelakang kerumunan orang menjadi sasaran untuk membawa AL. Sadei ke rumah sakit terdekat. Sebelum diangkat ke atas pik-up orang-orang melepaskan helm yang masih membungkus kepala wanita malang itu, tidak ada darah atau luka yang terlihat tapi wanita itu sama sekali tidak sadarkan diri. Dua orang pria mengangkat tubuh AL. Sadei ke atas pik-up dan sekaligus ikut mengantar ke rumah sakit.
Al.Sadei langsung dibawa ke ruang UGD, pihak rumah sakit mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab dan salah satu dari mereka menjelaskan untuk segera ditangani dulu sebelum wanita itu meninggal. Ia mengatakan bahwa wanita itu mengalami kecelakaan tertabrak di jalan takutnya akan mengalami gegar otak dan meninggal. Mendengar kronologi itu seorang dokter tidak menunggu lagi dan segera memerintahkan temannya untuk melaksanakan CT-scan. Tanpa memikirkan siapa nanti yang membayar pengobatannya. Hal, semacam itu seringkali dialami pihak rumah sakit dan tak jarang dokter yang mengiyakan kena SP dari pimpinan rumah sakit dan hal terburuknya bisa dipecat atau menanggung segala biaya si pasien.

@@
Best Friend
Pihak rumah sakit tidak tahu harus menghubungi siapa untuk menjaga pasien yang baru saja mereka rawat dan periksa. Pasien itu mengalami gegar otak dan pergelangan kaki kirinya patah, sedang kedua pria yang mengantarnya ke rumah sakit sudah pulang setelah mengatakan mereka hanya mengantar saja bukan dari pihak keluarga wanita itu. Pasien yang masih tidak sadarkan diri itu ditempatkan di ruang intensive. Dokter yang menanganinya melihat ada ponsel di kantong jins sebelah kiri pasien, tanpa berpikir panjang ia mengeluarkannya karena yakin ada petunjuk di sana, meski mereka sudah memeriksa isi tas pasien tapi mereka tidak menemukan petunjuk yang bisa dihubungi dengan cepat. Jam di dinding putih ruangan intensive menunjukkan pukul 15.07 WIB.
Dokter itu sudah memegang ponsel dan mengamatinya sejenak lalu melirik suster yang masih berdiri bingung di sebelahnya.
“Pasti ada sesuatu di sini.” Ujar sang dokter dengan nada pasti.
“Coba cek nomor kontaknya, Dok, cari nama penting seperti ‘ayah, ibu atau kakak’ dari pasien.” Usul  suster.
“Remaja sekarang jarang menulis nama seperti itu.” Kata dokter itu sambil berusaha membuka ponsel itu dengan hati-hati. Beruntung ponsel itu tidak memakai kata sandi. Dan pertama yang terlihat adalah pesan masuk dari nama yang tertulis ‘Best Friend’
‘AemeL……’
Dokter itu tiba-tiba tersenyum. “Pesan kok hanya satu kata.” Lirihnya lalu ia menatap pasien yang masih tidak sadarkan diri bahkan bisa dibilang koma. “Pesan ini dikirim oleh best friend-nya, aku harus menghubunginya.” Dokter memencet nomor itu tanpa menunggu reaksi dari susternya.
Julia sedang menatap layar ponselnya menyala memunculkan nama AemeL, sudah lama sekali nama itu tidak nongol di LCD itu sehingga menimbulkan rasa deg-degan yang tidak keruan di hatinya. Setelah membiarkannya beberapa detik akhirnya Julia memutuskan untuk mengangkat dan rasa kagetnya bertambah setelah mendengar suara seorang pria.
“Halo……….?”
“Ya. Halo..” jawab Julia dengan nada ragu-ragu.
“Maaf, siapapun nama Anda saya tidak peduli.. tapi ini sangat penting, saya baru saja membuka ponsel seorang wanita ternyata ada SMS Anda masuk dan bertuliskan dengan nama best friend, makanya saya menghubungi Anda. Kami, dan khususnya saya telah membongkar tas pasien namun tidak satupun menemukan yang bisa dihubungi selain di dompet ada SIM dan KTP atas nama Aemel Baes. Wanita itu sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan tabrak lari.”
“Apa?” suara Julia tercekat tidak percaya sekaligus cemas.
“Ini tidak main-main, kami di rumah sakit Harapan Indah menunggu kedatangan Anda secepatnya.” Tegasnya dengan pasti.
“Baik, saya segera ke sana.” Jawab Julia dengan sangat cepat tanpa berpikir lagi apakah telepon itu sebuah penipuan atau tidak mendengar nama AemeL membuatnya tidak bisa berpikir lagi.
Tadinya ia berpikir tidak tahu harus bicara apa saat AemeL meneleponnya dan apa yang AemeL katakan,  karena ia sudah rindu sekali dengan suara itu namun kabar yang ia terima diluar ekspektasinya.
Pihak rumah sakit mencatat nama pasien sesuai nama yang mereka lihat di kartu identitas sekaligus menulis semua hasil lab serta sebab musabab kenapa wanita itu sampai ke rumah sakit.

  
@@
Julia Collection
Julia sedang sibuk membantu rekan kerjanya, wanita single 27 Tahun itu punya dua cabang toko pakaian di pasar dengan sewa satu  ruko lebih kurang dua puluh dua juta pertahun. Ia menjalani bisnis itu dalam lima tahun belakangan, sebelumnya bekerja di sebuah butik milik seorang pejabat daerah. Ada dua orang pegawai di setiap satu toko, sedang Julia sendiri sering bolak-balik Jakarta-Palembang untuk membeli isi tokonya belum lagi harus melayani penjualan secara On-Line.
Hari itu setelah kembali dari toko yang satu tiba-tiba Julia ingat dengan sahabatnya. Wanita itu tersenyum karena sebenarnya bukan hari itu saja ia ingat dengan AemeL bahkan nyaris setiap hari tapi hari itu ia bukan saja ingat tapi ada rasa kangen yang sepertinya tidak biasa. Julia menghela napas berat seolah ingin meringankan beban rasa tiba-tiba menyesakkan dada, ia tidak pernah lagi menelepon AemeL karena percuma sebab wanita itu tidak akan pernah mengangkat telepon darinya, sekali-kali ia mengirim pesan jika ada hal penting sekali dan itu jarang sekali dapat balasan, andaipun ada balasan tidak penting untuk dibalas karena pesannya tidak minta dikonfirmasi. Tapi rasa itu akan perlahan menghilang seiring kesibukannya  membantu anak buahnya melayani pembeli yang jarang sepi di tokonya. Sebuah ponsel selalu menemaninya untuk bisnis On-Line yang ia jalani dua tahun belakangan.
“Kak, ini ada WA dari pelanggan. Katanya kiriman sudah sampai, barang yang datang juga sama persis dengan yang ia pesan.” Pegawai sekitar usia dua puluh tiga tahun itu bicara pada Julia disambut Julia dengan senyuman artinya pelanggannnya puas dengan pelayanan mereka. Ruko yang tidak lebih besar dari lima kali lima meter itu berisi barang dengan mutu bagus meski tidak terlalu memenuhi ruangan sehingga Julia bisa meletakkan sebuah meja dengan dua kursi kecil di pojok bagian belakang ditambah sebuah kipas angin kecil. Sebuah laptop ukuran 11 inch sedang terbuka di atas meja, sekali-kali Julia asik menyimak layarnya untuk melihat perkembangan bisnis di dunia internet. Ia sendiri telah mendaftarkan akun Julia Collection di sana.
Seema wanita yang sekaligus orang kepercayaan Julia mendekati bosnya. “Kak, biasanya sebulan sekali sudah harus belanja ke Jakarta tapi kali ini baru masuk minggu kedua toko ini sudah harus kembali diisi, apa kali ini pesan saja minta dipaketin seperti bulan kemarin?” ia bertanya karena isi toko sudah harus ditambah apalagi pesanam lewat On-Line makin lancar.
Julia melirik Seema lalu berkata “Aku akan ke Jakarta kalau pesan rasanya kurang puas untuk memilih.” Ia memastikan. “Oh, ya, Seema….” Julia berhenti bicara seakan sedang memikirkan sesuatu sedang wanita itu menunggu Julia meneruskan kata-katanya tapi Julia hanya menatapnya seolah lupa tadi ingin bicara apa. “Mungkin aku ke Jakarta dalam dua hari ini dan selama aku pergi kedua toko di Palembang ini adalah tanggung jawab kamu.” Katanya kemudian. Tanpa dijelaskan Seema sebenarnya sudah tahu tanggung jawabnya termasuk mengirimkan pesanan yang  lewat internet.
“Oke, siap..” Seema tersenyum tanda setuju.
“Seema, baju kemeja dewasa ini harganya berapa ya? Aku lupa?” rekan kerja Seema memperlihatkan sebuah kemeja lengan panjang karena ia sedang ditunggu dua orang sepertinya pasangan kekasih yang berminat dengan kemeja itu.
“Seratus lima puluh ribu, bisa kurang kok.” Sahut Seema setelah melihat jenis kemeja yang diperlihatkan temannya dan kalaupun bisa kurang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah karena barang yang ada di toko Julia Collection sudah dikenal bermutu bagus jadi tidak ada yang berani menawar rendah. Julia hanya mengamati mereka dari belakang mejanya lalu kembali mengecek kiriman yang sudah terkirim di internet. Jasa pengiriman tak jarang mengecewakan yang seharusnya sampai dalam waktu tiga atau empat hari malah dua minggu baru sampai dan membuat si pengirim dan pemesan jadi sangat kecewa dan anehnya tidak ada jaminan ganti rugi, yang ada si punya barang harus mengirim ulang. Itulah dunia bisnis tidak selalu manis.
Setelah berkutat beberapa menit di dunia internet Julia meraih ponsel dan membukanya, tidak ada status WA sahabatnya yang satu itu kecuali nomor ponsel yang sudah ia simpan lebih dari tujuh tahun. Kembali ia menghela napas panjang karena teringat lagi dengan wanita satu itu.
Di bagian depan atas ruko ada tulisan besar berbunyi ‘Julia Collection’ itulah satu-satunya usaha yang Julia jalani sekarang yang bisa menghidupi dirinya sekaligus membayar empat orang karyawannya yang kesemua sudah ia anggap keluarga sendiri. Bukan itu saja, selain itu ia masih bisa sedikit-sedikit membantu keluarganya. Julia tidak memiliki rumah pribadi, ia tinggal di tempat kos dengan satu kamar. Meski ada beberapa kakaknya menawarkan untuk tinggal di rumah mereka tapi Julia memilih untuk tinggal sendiri dibanding tinggal di rumah kakaknya yang kaya, punya pembantu dan segala macam. Julia tidak suka mendengar gosip, tidak suka ikut arisan keluarga juga tidak suka pergi-pergi yang tidak jelas. Ia punya banyak teman dari berbagai kalangan, tua ataupun muda, pegawai bahkan kaki lima tapi kini ia hanya dekat dengan wanita yang satu itu, wanita yang selama beberapa bulan ini mengganggu pikirannya. Wanita yang ia anggap lebih dari keluarga sendiri, tidak ada lagi rahasia yang ia simpan dari wanita itu. Semua sudah ia buka dengan sangat jelas, ibarat sebuah buku tidak ada satupun halaman yang wanita itu lewati mengenai kisah hidupnya. Tapi sekarang wanita itu sedang apa? Bagaimana perasaannya Julia tidak tahu. Ia sungguh penasaran.
Tak jarang Julia meneteskan airmata mengingat persahabatan mereka yang tidak biasa. Julia merasa takut kehilangan lantaran sudah banyak kehilangan di dalam hidupnya apakah harus terpisah darinya sampai mati, rasanya tidak ada yang lebih sakit dari tidak tahu kabar seorang sahabat yang sangat disayangi.
Hujan mulai turun dan dalam hitungan detik saja sudah sangat deras, orang-orang yang berniat belanja jadi kalang kabut mencari tempat berteduh tak terkecuali di depan teras Julia Collection. Julia merasa hatinya beku dan saat itulah ia ingin menuliskan pesan.
*
Tepat pukul 20.47 WIB Julia tiba di rumah sakit tempat AemeL Baes dirawat, setelah turun dari taksi ia langsung menuju ruang informasi menanyakan apakah benar AemeL Baes berada di tempat itu. Dengan tas punggung yang ditenteng, rambut semi bob ala polwan, baju kaus serta celana jins dan tanpa polesan Make-Up ia coba bertanya.
“Maaf, Sus, saya ingin tanya, apakah ada pasien yang bernama AemeL Baes dirawat di sini?” katanya pada wanita berseragam perawat, disebelahnya ada dua orang lagi dan yang satunya seorang pria sedang melihat-lihat daftar pasien. Perawat yang ditanya mengangkat wajahnya untuk menatap Julia sedangkan seorang pria dengan pakaian dokter menatap Julia dengan tatapan campur aduk.
“Saya cek dulu.” Sahut perawat akhirnya dan langsung mengecek papan daftar pasien yang ada di sebelahnya. Wanita yang menunggu begitu cemas jelas terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Anda, best friend??!” kata dokter sebelum suster menemukan nama yang ditanyakan sang tamu atau orang yang bermaksud besuk sanak saudaranya.
Julia mengalihkan pandangannya kepada orang tersebut dan sebelum pria itu terlalu jauh mengamati wajahnya Julia mengajukan pertanyaan.
“Anda mengenali saya?” katanya dengan nada rendah belum bisa menghilangkan rasa cemas.
“Ikuti saya…” kata sang dokter dan suster yang melihat mereka sepertinya menebak mereka sudah saling komunikasi lalu membiarkan wanita itu mengikuti perintah sang dokter, tak biasanya dokter mau mengantar orang ke pasien mungkin karena ia menangani pasien yang belum diketahui keluarganya.
Julia sudah berjalan bersisian dengan dokter muda itu dengan rasa was-was yang luar biasa.
“Hampir enam jam, mengapa Anda begitu lama datang? Sahabat macam apa Anda ini?” sergah sang dokter dengan nada tidak enak terdengar di telinga Julia. “Semacet-macet kota ini tidak mungkin menjebak Anda selama itu di jalanan.” Nadanya masih sama namun lebih mengandung amarah membuat Julia makin cemas.
“Bagaimana keadaan AemeL?” Julia ingin segera tahu kondisi sahabatnya tanpa mempedulikan ocehan sang dokter dan ia merasa tidak perlu menjelaskan apa yang telah ia lewati selama kurang lebih enam jam perjalanan sampai membawanya ke tempat yang sama sekali tidak ia harapkan.
Dokter itu menghentikan langkahnya diikuti oleh Julia, kedua orang itu saling tatap beberapa saat di lorong panjang teras rumah sakit.
“AemeL Baes masih tidak sadarkan diri hingga detik ini.” Kata dokter dengan nada tenang namun tidak demikian dengan Julia.
“Apa maksud Anda? Dia koma?”
Dokter tidak mengangguk juga tidak menggeleng kecuali diam karena baru kali ini ada orang menyebutnya ‘Anda’ bukan ‘dokter’ dan wanita yang kini ada di depannya terlihat punya karakter tidak biasa. “Ayo…” ia kembali mengajak Julia jalan. “Anda bukan saja kelihatan cemas tapi juga terlihat sangat lelah. “Aku tidak menyebut AemeL koma, hanya saja belum sadarkan diri. Ia mengalami tabrak lari.” Lanjutnya.
“Tabrak lari?”
“Ya, memangnya aneh? Ada ratusan kasus tabrak lari di ibukota ini setiap harinya.” Mereka sudah tiba di ruang rawat intensive. “Ini, AemeL ada di dalam, tunggu, biar saya panggil suster keluar dulu.” Dokter membuka pintu lalu mengisyaratkan agar suster jaga keluar. Saat keluar suster melirik sekilas pada Julia dengan tatapan penuh tanya.
“Apa dia si Best Friend, itu?” ujarnya membuat Julia bingung meski suster jaga berbicara dengan dokter.
“Sepertinya, ya, semoga saja ia benar-benar Best Friend sehingga kita tidak harus menunggunya selama enam jam.” Sindir dokter keras sengaja tertuju pada Julia.
“Maaf,.. “ Julia merasa mulai tidak sabar langsung membuka pintu dan menerobos masuk untuk segera melihat kondisi AemeL tanpa harus melayani dokter dan suster itu untuk berdebat. Namun di depan pintu bagian dalam ia tertegun takkala melihat sosok seorang wanita yang terbaring di tempat tidur pasien dengan kondisi memprihatinkan. Alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Julia menutup mulutnya dengan telapak tangannya agar jeritannya tidak keluar, saat itu pundaknya disentuh oleh tangan dengan lembut seakan coba menguatkannya.
“Ia sudah menunggu kamu dari tadi, jika saja ia bisa berbicara maka ia sudah marah sama kamu. Sekarang kamu boleh mendekatinya dengan catatan tidak boleh berbuat macam-macam.” Sang dokter bicara karena merasa sudah yakin dialah Best Friend itu namun ia tidak mau pasiennya lebih parah.
Tas di bahu Julia sudah jatuh ke lantai kakinya mendekati AemeL sedangkan dokter masih mengamati sosok itu, di matanya wanita itu terlihat sangat ideal entah mengapa ia merasa akan menemukan banyak keunikan.
_______

Bersambung>>>>>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RANDU, RIMBA DAN LINTANG

 Randu, Rimba dan Lintang ** Dua remaja putri sedang berdiri di tangga pertama Tembok China, sebelum melangkahka...