**
BAB 1
REJANG LEBONG
**
Pertemuan
Di sebuah kampung yang
begitu indah, nyaman, sejuk serta hijau dan bisa dipastikan jauh dari polusi
udara apalagi pemanasan global. Kendaraan yang hilir mudik seperti tidak kenal
dengan yang namanya macet meski tidak bisa dibilang sepi, apalagi kendaraan roda dua
yang sudah menjamur, ditambah lagi jalanan mulus serta terawat dengan rapih.
Sebuah gunung
besar terlihat berdiri kokoh di belakang perkampungan, layaknya tembok hijau raksasa
yang memagari bagian belakang kampung hingga terlihat seperti pemandangan indah
yang menakjubkan, dan didampingi dengan bukit kembar, namanya gunung Pabes dan Tebo Tepuk. Nama
yang unik namun indah, seindah gunungnya. Dulu gunung itu sangat hijau tapi
sekarang mulai memudar, karena pohon-pohon besarnya sudah berkurang.
Kampung Nane terletak
di perlintasan Curup-Muara Aman, empat kilo meter dari Muara Aman dan sekitar 71 kilo meter dari kota Curup, sudah
menjadi kelurahan yang terdiri dari tiga kecamatan. Juga sudah jadi sebuah
Kabupaten, terdiri dari beberapa kelurahan.
Penghasilan
para penduduk berasal dari pertanian dan perkebunan. Ada beberapa orang yang
bekerja sebagai pegawai negeri sipil.
Di Kabupaten
Lebong sudah banyak sekali sekolah SMA Negeri, salah satunya yang tertua yaitu
sekolah tempat Nane di Muara Aman. Yang berada di lingkungan pasar Muara Aman.
**
Siang itu, Nane
sedang duduk di teras rumahnya yang sederhana bahkan sangat sederhana. Rumah
itu tepat di pinggir jalan yang tidak begitu jauh dari persimpangan jalan. Ia
menanti kedatangan Dio sejak lima belas menit yang lalu. Kata orang pekerjaan
menunggu adalah paling membosankan, tapi tidak berlaku buat Nane. Dio sudah
meneleponnya dan mengatakan akan muncul sepuluh menit lagi, meski sudah lewat, ia
tidak akan menelepon balik untuk memastikan. Nane asyik menikmati lagu di ponselnya
yang murah dan tidak dilengkapi dengan memory
external yang hanya bisa menyimpan
beberapa lagu saja.
Sebuah lagu
Astrid dengan judul ‘Tentang Rasa’ lalu menyusul lagu Ungu yang bertajuk
‘Percaya padaku’ Nane sangat menikmati lagu-lagu dari negeri sendiri khususnya
‘Kotak’, meski hampir semua remaja Indonesia sedang menggilai anak-anak boyband atau girlband juga demam bola TIMNAS, namun bagi Nane yang berada jauh
dari Glora Bung Karno hanya cukup
mendoakan saja semoga Indonesia berjaya di mata dunia dan bisa menjadi
kebanggaan semua rakyatnya.
*
Beberapa menit
berikutnya sebuah mini bus berhenti di depan rumah Nane, tepatnya satu rumah di
sebelah rumah yang posisinya pas di depan rumahnya. Rumah itu kosong karena
baru ditinggal penghuninya kira-kira sebulan yang lalu. Dengan berhentinya mini
bus itu tidak membuat Nane beranjak sedikitpun dari tempat duduknya, ia masih
bersandar di kursi kayu yang di terasnya dengan headset masih menempel di telinganya. Satu dua orang lewat dan
angkutan umum memang terlihat lewat sekitar lima menit sekali, namun di simpang
tiga itu banyak ojek yang mangkal. Rumah Nane tidak jauh dari simpang,
namun rumah kosong itu tepat di sudut simpang.
Seorang wanita
empat puluhan terlihat keluar dari mini bus diikuti seorang gadis sepantaran
Nane kemudian menyusul dua buah koper yang lumayan besar dikeluarkan oleh sang
kenek. Dua wanita itu seperti ibu dan anak. Berikutnya mini bus itu berlalu dan
meninggalkan dua wanita yang sangat asing di mata Nane. Kedua wanita itu sedang
terlibat perbincangan serius lalu mengangkat koper mereka ke atas teras rumah kosong itu, bisa
Nane pastikan kedua wanita itu tidak sedang menunggu mobil sebab tidak mungkin
orang menunggu mobil meletakkan kopernya di teras rumah orang meski pun kosong.
Nane masih
mengamati kedua wanita itu, si ibu terlihat melirik ke kiri dan ke kanan dan si
gadis yang memiliki rambut panjang tanpa sengaja beratatapan dengan Nane, tanpa
sadar Nane menciptakan sebuah senyuman dan itu spontan. Dibalas gadis itu dengan
disertai anggukan kecil, tampangnya ‘Laura Basuki’ sekali. Si ibu lalu
meninggalkan anaknya bersama kedua koper mereka. Gadis itu melirik dua buah
kursi di teras lalu menarik satunya untuk ia duduk. Ia melirik ke Nane lagi
saat Nane sedang menatap jam tangannya.
Dua puluh
menit sudah berlalu dan belum pernah Dio terlambat separah itu, ‘Ke mana itu anak?’ pikir Nane.
Tanpa diliputi rasa kesal, Nane beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam
rumahnya, beberapa saat kemudian ia keluar lagi dan gadis yang di depan itu
masih duduk menemani kopernya sambil memainkan ponsel di tangannya. Dia
terlihat lelah tapi tidak ingin menampakannya.
Nane
memutuskan untuk menyapa gadis itu dengan menghampirinya. Ia menyeberang jalan.
Melihat gelagat Nane, gadis itu berdiri seakan menghargai Nane meski belum
tahu apa yang akan dilakukannya.
“Hai…?” Gadis
yang terlihat feminin itu menyapa duluan.
“Hai….” Balas
Nane. ”Mm…..?”
“Saya, Anifatul
Hasannah.” Ia menatap gadis semampai yang tidak bisa dimiripkan dengan siapa
pun. Karakter wajahnya sangat kuat, kulit sawo matang nyaris putih, rambut
lurus sebahu tanpa poni, giginya sangat rapi dan senyumnya itu sangat sempurna.
Nane menyadari sepertinya gadis itu bukan
orang satu kampung dengannya dan jelas sekali, karena tidak ada gadis seusianya
tidak ia kenal. Nane harus menggunakan bahasa nasional dengan gadis itu.
”O, saya Nane,
Nane Doyosi.” Mereka saling mengulurkan tangan dan berjabat erat. ”Aku belum pernah
melihat kamu sebelumnya dan wanita yang tadi……?”
“Wanita yang
tadi ibu saya, dia sedang ke Puskesmas untuk bertemu dengan kepala Puskesmas.
Kami akan menempati rumah ini.”
“Ibu kamu
perawat, ya?”
kata Nane sekaligus menebak dengan pasti.
“Kok tahu?”
“Nebak saja,
ini rumahkan pernah ditempati oleh seorang perawat.” Jelas Nane. Anifatul
tersenyum dan mempersilakan Nane duduk di kursi yang satunya. Nane menurut, ia
duduk dan menatap Anifatul. Gadis itu juga melakukan hal yang sama. ”Kamu masih
sekolah?”
“Ya, kelas tiga.
Aku harap kamu juga masih sekolah seperti aku, agar kita bisa satu sekolah.
“Maksud kamu,
kamu pindah sekolah?”
“Aku hanya
memiliki ibu, dia pindah tugas dan otomatis aku harus menemaninya.”
“O.” Nane
manggut-manggut kecil dengan mulut berbentuk bulat.
“Pindahan dari
Jakarta, lumayan jauh. Satu jam perjalanan udara dan hampir tiga jam perjalanan
darat.” Tutur Anifatul seakan ingin menceritakan perjalanan panjangnya nyaris
seharian ini. Dan Nane sangat paham sekali, untung sekarang jalanan sudah
sangat bagus. Biasanya perjalanan dari Bandara Fatmawati Soekarno menuju
kampungnya membutuhkan waktu empat jam. Dan Nane tidak tahu berapa jam
perjalanan dari rumah Anifatul menuju Bandara SOETTA.
*
Sebuah motor
besar berhenti di depan rumah Nane memaksa Nane melirik arlojinya, ‘Dua puluh
lima menit’ gumannya. Anifatul melirik Nane lalu menoleh pada sosok
yang sedang membuka helm itu ternyata seorang pria jangkung, menawan dengan rambut lurus semi cepak, kulit coklat, dan hidung mancung serta
tubuh yang atletis.
“Kamu kayaknya
kedatangan tamu, tuh.” Ujar Anifatul namun Nane sudah hafal sekali dengan suara
motor milik Dio. Pria itu turun dari motornya sebelum naik ke rumah Nane, Nane
memanggilnya dengan tepukan tangannya. Pria itu menoleh dan wajah plamboyannya
langsung tertangkap oleh Anifatul, sesaat pria itu dan Anifatul saling tatap.
Nane melambaikan tangannya agar Dio datang ke tempat mereka.
Dengan langkah
pasti ia menuju ke tempat Nane dan wanita asing itu sedang duduk. Anifatul
mengamati dari sepatu hingga ujung rambutnya. Mendekati sempurna. Pria itu
tersenyum dengan raut wajah penuh penyesalan kepada Nane.
“Maaf, Nan.., uku telat nyen.” (Maaf, Nan… aku sangat terlambat.) Katanya
dalam bahasa Rejang asli. Anifatul tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.
“Duai puluak tujuak menit pat puluak tujuak detik.” (Dua puluh tujuh menit
empat puluh tujuh detik) Kata Nane setelah melirik jam tangannya. ”Sudoba…” (Sudahlah…) ia pun membalas
dengan bahasa Indonesia lalu pria itu sudah melirik Anifatul yang mengangguk
ramah. ”Kamu pasti punya alasan yang sangat kuat, kan? Kita pakai bahasa
Indonesia, sebab yang ada di depan kamu sekarang ini adalah Anifatul Hasannah,
pindahan dari Jakarta. Dan kita akan pergi setelah ibunya kembali.” Lanjut
Nane. Ia tidak ingin gadis itu tersinggung dengan bahasa mereka. Nane menoleh
pada Anifatul. Anifatul melirik Nane kemudian pada pria itu. ”Anif… ini Dio,
kenalkan…” lanjut Nane.
Pria yang
bernama Dio itu mengulurkan tangannya disambut erat oleh Anifatul sambil
berdiri.
“Anifatul Hasannah,
boleh dipanggil dengan Nif.”
“Oh, baru pindah, ya?” kata Dio tak kalah
ramah.
“Ya,
begitulah…” ujarnya coba bersikap wajar. Di hati kecilnya mengatakan pria yang
ada dihadapannya benar-benar menawan, beralis tebal dan berwajah oval.
“Ibunya sedang
menemui kepala Puskesmas untuk mengambil kunci rumah.” Jelas Nane kemudian.
“Aku tidak
apa-apa kok sendiri di sini, jka kalian mau pergi.” Ia tidak enak hati pada dua
pasangan sejoli itu apalagi ia tahu Nane sudah lama menunggu pacarnya datang.
“Nggak apa-apa
kok, kita tungguin.” Kilah Dio sambil duduk di kayu pagar teras. ”Di Jakarta
dimananya?” Dio mulai bertanya.
“Jakarta
Selatan.” Jawab Nif dengan tenang.
“Oh,…” nada suara Dio
mengandung arti lain. Bisa ia bayangkan jika remaja kota akan tinggal di
kampung seperti Anifatul itu. Akhirnya dia tersenyum pendek.
“Kamu kenapa
senyum-senyum seperti itu?” Nane merasa
aneh dengan senyum Dio dan ia hafal betul dengan bahasa tubuh Dio. Bagaimana ia
mengagumi sesuatu dan menyepelekannya. Dan Nif juga merasakan Dio sedang
menertawakannya.
“Ya, sedang
ngebayangin kehidupan remaja-remaja metropolitan saja” Dio menjawab santai.
“Begitu, ya?” Nif merasa sedikit
tersinggung tidak menyangka pria kampung seperti Dio bisa menertawakannya,
jarang orang melakukan itu bahkan kebanyakan pria mengaguminya dan bahkan
berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayangnya. Bagaimana pun juga Nif adalah
sosok seorang gadis yang banyak diidamkan pria. Dia memiliki semua yang pria
harapkan, kulit putih, langsing, rambut panjang, hidung mancung juga ramah. Tapi
dia tidak tahu Dio mendambakan seorang wanita yang berotak cemerlang, baik dan
pemberani, satu lagi… yaitu tulus.
“Jangan salah
paham gitu dong Nif, yang ada di otakku adalah gadis-gadis manja yang sering
berkeliaran di mol
untuk menghabiskan uang orang tuanya. Syukur-syukur orang tuanya
tidak memakai uang rakyat.” kata Dio dengan enteng dan kali ini Nif merasa
tersinggung.
“Kebanyakan
nonton televisi sih.” Timpal Nane agar Nif tidak terlalu tersinggung.
“Hei..! mana
ada laki-laki seperti aku betah duduk di depan TV?” ia menatap Nane sejenak.
“Itu, ibuku sudah kembali.” Tukas
Nif setelah melihat ibunya berjalan ke arah mereka. Mereka menunggu wanita itu
naik ke teras. Lalu beramah-tamah sejenak, kenalan dan Dio membantu Nif dan ibunya
membawa koper ke dalam. Rumah itu ternyata sudah dibersihkan oleh petugas puskesmas
dua hari sebelum Nif dan ibunya datang.
Sebelum pergi,
Dio berpesan kepada kedua wanita itu agar tidak boleh sungkan-sungkan minta
bantuan jika mengalami kesulitan dalam segi apa pun. Nif merasa sangat senang
mendengar kata-kata Dio, sebagai gadis yang baru menjejaki kakinya di daerah
asing, dia sangat membutuhkan kata-kata seperti itu, apalagi Dio mengatakannya
langsung. Bagi Nif rasanya pasti berbeda dan ia sudah melupakan rasa
tersinggungnya.
*
Di atas motor, Dio bertanya kepada Nane.
”Kamu tidak
mau tahu kenapa aku terlambat?” (Bahasa Indonesia saja, ya) ‘Penulis’
“Memangnya mau
kasih tahu? Kalau merasa perlu kenapa tunggu aku bertanya?” sahut Nane.
“Ya ya, aku
libur kuliah selama dua bulan.”
“Oh, ya…?” itu
bukan kaget,
Nane tidak gampang kaget apalagi soal Dio libur habis semester.
“Kok, cuma oh
ya? Ini kabar baik, kita bisa menginap di kebun dan menunggu durian runtuh
seperti tahun-tahun sebelumnya.” Dio rada kesal Nane tidak menyambut gembira
ceritanya.
“Terus… apa
hubungannya dengan datang terlambat?” kata Nane tanpa bermaksud untuk protes.
Ia hanya ingin tahu kenapa Dio bisa ngaret
separah itu.
“Sebelum
datang ke rumah kamu, aku menunggu kedatangan pak Ramli untuk membawakan
barang-barang yang kita perlukan di pondok nanti.” Motor Dio berbelok ke arah
pasar untuk mengantar Nane membeli buku. Beberapa saat saja, motor besar itu
sudah berhenti di depan toko buku. Keduanya masuk ke dalam toko. Nane mengambil
apa yang ia butuhkan. Buku IPA, Dio menggodanya.
“Buat apa sih
beli buku gituan? Nilai bagus juga percuma kan kalau tidak mau meneruskan
kuliah?” cerocosnya dengan cerewet.
Nane menatap
Dio sejenak. ”Kamu tahu kan aku tidak perlu mengulanginya setiap hari? Dan, tidak ada yang percuma di
dalam hidup ini. Lagian aneh saja seandainya nanti adikku bertanya pada orang
lain mengenai pelajaran yang tidak bisa ia jawab di PR-nya.” Jawab Nane tidak
mau kalah.
“Ya ya, tapi
kan aku masih punya banyak buku dan aku rasa kurikulum dua tahun yang lalu
tidak akan jauh berbeda dengan yang sekarang dan kita bisa memesan buku lewat
internet yang lebih komplit dan bermutu, hmm…?” sahut Dio sambil bermaksud membayar
buku Nane dan langsung ditepis Nane. Dio mengalah asalkan Nane mau diajak
makan. Nane tidak mau membeli di online
karena kebanyakan buku bajakan, ia tidak mau membeli bajakan kasian sama
penulis bukunya.
Nane menurut
dan ia hanya memilih pesan es campur.
Di warung
sederhana Dio ikut pesan es, buah segar dicampur dengan susu. Lalu menatap
Nane, gadis itu memang memilih tidak akan melanjutkan sekolah dengan alasan
orang tuanya tidak mampu membiayai kuliahnya dan ia memilih adiknya
yang akan sekolah tinggi karena adiknya seorang laki-laki. Dio memang tidak bisa memaksa kehendak Nane meski
ia sangat menyayangkannya. Karena baginya pribadi, pendidikan di zaman sekarang
tidak pandang pria atau wanita, semuanya berhak menimba ilmu.
“Nan, besok
setelah kamu pulang dari sekolah kita langsung ke kebun, ya? Aku sudah tidak sabar
mendengar suara buah durian jatuh dari pohonnya yang menimbulkan suara ‘bug’ di tanah.”
“Mana bisa seperti
itu, setelah pulang aku harus membereskan rumah dulu, masak untuk makan sore
bagi keluargaku. Kalau tidak masak, nanti pulang dari sawah orang tuaku makan apa? Dan
adikku pasti akan berteriak kelaparan.” ia menatap Dio sekilas.
“Alasan kamu
selalu saja seperti itu. Eh, ngomong-ngomong si Nif itu cakep juga ya? Dan
namanya unik.” Tiba-tiba Dio meluncurkan nama Nif.
Nane tersenyum
mendengar pujian tulus dari Dio untuk Nif. Memang tidak bisa dipungkiri, Nif
memang berbeda. Tidak sedikit gadis cantik di kampung mereka tapi Nif adalah
produk luar kota yang sedikit banyaknya akan membawa keistimewaan sendiri. Dan, Nane sendiri tidak bisa
disamakan dengan Nif. Nane gadis manis yang sering membiarkan kulitnya
bersahabat dengan matahari. Nane memiliki gigi yang bagus, tubuh langsing yang
agak sedikit berotot, tinggi semampai rada pendiam dan mempunyai senyum yang
sangat menawan.
“Kamu suka ya,
sama dia?” hela Nane kemudian dengan nada agak pelan.
“Sepertinya
dia perempuan yang aku impikan selama ini.” Ia tersenyum serius pada gadis itu.
”Kira-kira dia mau tidak ya, kalau aku tembak untuk menjadi pacarku? Semoga
saja dia tidak punya pacar di Jakarta atau setidaknya sudah putus.” Harapnya
agak berlebihan.
Lagi-lagi Nane
tersenyum. Tidak ada gadis yang menolak Dio untuk menjadi pacarnya. Dio
memiliki postur tubuh yang tidak kalah kerennya dengan pria-pria kota, bahkan
seorang model sekalipun. Dio malahan terlihat lebih macho, kuat dan hanyak kelebihan positif yang ia miliki.
‘Hei, Nane! kamu ini kenapa?
Kenapa baru sekarang kelebihan-kelebihan pada diri Dio menyeruak di kepala
kamu?’ Nane berguman sendiri. ’Sial!!’ ia memaki dirinya.
“Apa si Nif
itu tipe cewek terakhir kamu??” tambahnya lagi.
“Maksud kamu?”
Dio mengeryitkan keningnya seakan melupakan sesuatu.
“Aku sudah
mendengar puluhan cewek yang kamu sukai dan selalu berakhir dengan kata-kata
‘Dia ternyata bukan tipeku..’ apakah itu juga akan terjadi dengan Nif?”
“Jangan
ngomong gitu dong Nan, setidaknya aku kan sudah bicara jujur sama kamu, kamu
sendiri tidak pernah bicara tentang perasaan kamu dengan aku. Aku tidak pernah
tahu siapa pria yang kamu sukai, apakah pria itu ada di sekolah kamu? Atau
jangan-jangan kamu jatuh cinta dengan salah satu guru di sekolahmu. Kamu pikir
aku tidak tahu ada guru keren di sana? Aku juga pernah sekolah di tempat kamu,
ingat itu.” Kata Dio seolah memarahi gadis itu.
“Andai itu
terjadi,” Nane tertawa tak tertebak. ”..dan aku tidak akan memberitahukannya ke
kamu.” Tambah Nane dengan pasti membuat Dio rada keki karena tidak ingin ada
yang Nane sembunyikan darinya, sebagaimana kejujurannya pada gadis itu selama
ini.
“Jadi itu arti
persahabatan kita selama ini?” Dio mulai terlihat serius. ”Sampai detik ini aku
tidak pernah tahu tentang perasaan kamu yang sebenarnya. Siapa yang kamu sukai
dan siapa yang kamu benci? Dan, pada siapa kamu pernah jatuh cinta? Usia kamu itu sudah
tujuh belas tahun, mustahil kamu tidak pernah merasa menyukai pria di kampung
ini. Apa iya kamu belum pernah jatuh cinta?” Dio tambah penasaran.
Nane menghirup
es campurnya lalu menatap Dio. ”Apa iya seorang gadis yang menginjak usia tujuh
belas tahun bahwa hal terpenting dalam hidupnya adalah cinta!?? Apa ada
peraturan seperti itu? aku rasa tidak!” Nane membela diri.
Dio tertawa. ”Nane—Nane,
andai saja kamu pacarku sudah aku cium kamu.” Kata Dio tidak main-main. Nane
ikut tersenyum mendengar kata-kata konyol Dio.
Tiba-tiba mata
Nane tertuju pada tumpukan kayu besar yang masih basah, yang disusun rapih di
seberang jalan. Sepertinya akan siap dijual.
“Di, lihat deh
di seberang jalan itu!” ujar Nane. Mata Dio menoleh ke sana di mana terlihat
batang-batang kayu yang dipotong kira-kira berukuran satu meter dengan masih
berbentuk bulat sebesar paha orang dewasa. Disusun sekitar satu kubik. ”Kebayang
tidak sih, jika setiap hari ada sebanyak itu pohon ditebang, gimana jadinya
kampung kita ini? Lama-lama gunung kesayangan kita akan botak.” Nane khawatir.
“Kamu benar
Nan, tapi apa yang harus kita lakukan?” Dio merespon dengan cepat.
“Kita lihat
saja nanti. Kita pulang, yok.” Ajak Nane. Dio pun mengiyakan.
**
Sekolah Baru
Pagi-pagi sekali, Nif sudah tiba di SMA Negeri 1 Muara Aman Lebong Utara, sekolah itu sempat
membuat Nif takjub karena kebersihan dan keindahannya. Nif pikir seperti di
Jakarta akan kena macet, dan tidak menyesuaikan selisih waktu yang ada di
Jakarta dan Bengkulu, apalagi di Rejang Lebong tempat Nane, selisih waktunya
lebih lambat sekitar 20 menit dari waktu Jakarta.
Untung saja
sudah ada orang yang datang, ia datang ke ruang guru untuk melapor
kepindahannya namun yang ia temui hanya tukang sapu ruangan. Akhirnya ia
memutuskan untuk mencari kantin, meski pun sudah sarapan namun ia ingin melihat
suasan kantin di sekolah itu. Ibu kantin mengamatinya sejenak.
“Ibu baru lihat
kamu, apa kamu anak pindahan?” katanya dengan bahasa daerah Rejang. Biasanya ia
menggunakan Bahasa Bengkulu yang hampir mirip dengan Bahasa Padang. Di Muara
Aman bahasanya sudah campur aduk, karena sudah banyak para pendatang. Dari
Padang, Cina bahkan dari pulau Jawa.
“Maaf, Bu?” tanya Nif tidak
mengerti. Ia mengamati wanita bersih dan putih itu, penampilannya tidak kalah
dengan ibu kantin yang ada di sekolah internasional, pantas saja kantinnya terlihat
bersih dan rapih.
Yakinlah dia
bahwa gadis semampai itu anak baru, bukan anak kelas satu yang baru masuk,
apalagi ini sudah pertengahan semester. ”Oh… pantesan datangnya pagi sekali.” Ia
mulai menggunakan bahasa nasional. ”Pindahan dari mana? Mm… silakan duduk.”
Katanya ramah.
“Terima kasih,
Bu.” Nif masih mengamati wanita yang kira-kira tidak jauh lebih tua dari
ibunya. Ia duduk di bangku panjang dan Ibu kantin langsung menyuguhkannya
segelas teh manis yang hangat.
“Gratis untuk
hari pertama kamu.” Ujarnya kembali ramah.
“Tidak usah Bu,
saya sudah sarapan kok.” Nif merasa tidak enak.
“Tidak
apa-apa, minum saja.” katanya tulus membuat Nif tidak enak menolak. Si ibu
sudah kembali merapikan dagangannya. Penampilan wanita itu memang sederhana
namun keramahannya terlihat tidak di buat-buat.
“Terima kasih
ya, Bu.” Kata Nif kemudian. Ia menyimak apa saja yang tersedia di kantin itu. Ada
bakso, nasi goreng, beberapa gorengan
dan berbagai minuman ringan. Ruang kantin yang tidak jauh dari ruang guru itu angat
luas. ”Ibu sendirian?” tanya Nif mencoba berbincang.
“Tidak,
sebentar lagi ada yang datang membantu Ibu, kalau sendiri bisa kualahan apalagi
kalau anak-anak sudah keluar istirahat.
“Mm…” Nif
paham sekali. ”Ini SMA Negeri 1 Lebong Utara, apa Ibu kenal dengan perempuan
yang namanya Nane?” ia berharap sekali Nane sekolah di tempat barunya itu.
“Nane, si
jangkung itu? waktu kelas dua, dia ketua OSIS di sekolah ini, anaknya jarang
ngomong tapi baik dan pintar. Dan, satu lagi…” wanita itu berhenti
sebentar merapikan perabotan kantinnya untuk menatap Nif. ”Anak sulung Ibu,
tergila-gila sama dia.” Ibu kantin tertawa seakan menertawai anaknya sendiri
tapi tidak terlihat sedikitpun ia membenci Nane yang terlihat di wajahnya hanya
rasa kagumnya pada gadis itu. ”Meski pun sudah kuliah dan tinggal di tempat kos,
anak Ibu masih sering menanyakan Nane. Tapi dengar-dengar guru olahraga di
sekolah ini mau menjadi pacarnya Nane, entah itu benar atau tidak Ibu juga tidak
tahu pasti. Tapi kata anak-anak, Nanenya tidak mau.” Katanya sedikit senang. ”Mm..
ngomong-ngomong nama kamu siapa dan pindahan dari mana?”
“Nama saya
Anifatul Hasannah pindahan dari Jakarta…” ia ragu-ragu mengatakan kata Jakarta
malu kalau wanita itu akan menertawainya. Tapi wanita itu tidak menertawainya
sama sekali, ia bahkan tidak peduli seperti apa Jakarta itu, yang ia tahu apa
pun keputusan para petinggi Jakarta sering menyusahkan kehidupannya di kampung.
Nif merasa bersyukur dan berpikir, tentu saja Nane menolak pria mana pun karena
Dio adalah pria yang paling keren yang pernah ia lihat. Nif membatin. Hingga
detik ini ia masih ingat dengan sangat jelas bentuk garis-garis wajah Dio, lain
dari pada yang lain. Kulitnya memang terlihat coklat, tapi dari penampilannya
sama sekali tidak terlihat dari kalangan orang susah. Ia punya wibawa, berkelas
dan tidak gampang mengagumi sesuatu. Entah kenapa Nif merasa tertantang. ”Bu…
sepertinya sudah ada guru yang datang, saya harus pergi untuk bertemu dengan
salah satu guru, terima kasih atas suguhan teh hangatnya.” Kata Nif tak kalah
tulus.
“Oh, ya. Sama-sama.”
*
Sepuluh menit
berikutnya Nif masuk ke dalam kelas bersama seorang guru yang akan memberi
pelajaran di kelas itu. Nane yang duduk di bangku tengah mengangkat kepalanya.
‘Ternyata dia
anak IPA juga.’ Gumannya dalam hati.
“Selamat pagi,
Paaaak….” sapa anak-anak pada guru mereka.
“Pagi……” balas
guru perlente itu. Dia asli dari Jawa Timur mengajar bidang study fisika.
Acara
perkenalan singkat pun berlangsung, tidak ada yang istimewa. Hanya ada satu dua
murid pria yang terlihat norak,
biasalah seperti pria-pria pada umumnya di muka bumi ini kalau melihat wanita
langsung merespon. Nif disuruh duduk di bangku kosong, sekilas ia dan Nane
saling pandang. Nif tersenyum dan berusaha dibalas oleh Nane sewajarnya.
Pelajaran
pertama dilewati Nif dengan agak berat, dalam arti masih kaku. Tidak ada
suara-suara berisik yang terdengar, siswa terlihat tekun sepertinya sangat
memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Nif jarang belajar dalam kondisi hening
dan serius seperti itu, tapi ada juga hal yang bisa diselingi dengan candaan,
dan guru masih terlihat ingin menjalin kedekatan dengan murid-muridnya.
Adegan tanya
jawab pelajaran pun berlangsung sangat teratur, Nane terlihat agak mendominasi
pelajaran. Dan, sepertinya
Nif mulai
menemukan kenyamanan di dalam kelas apalagi jendela bagian atas terbuka semua
sehingga angin alam masuk dengan sangat bebas.
Pada saat jam
istirahat tiba sama saja dengan sekolah pada umumnya. Ada yang berusaha kenal
lebih dekat dengan Nif, ada yang ke kantin dan tidak sedikit juga yang ke
perpustakaan. Tidak ada yang bersikap berlebihan.
Nane
menghampiri Nif. “Selamat bergabung di sekolah ini, sudah selesai acara
kenalannya? Di sini tidak ada kebiasaan mem-bully
murid baru.
Ikut ke kantin nggak?” ajak Nane dengan nada biasa, layaknya pada teman biasa
pula.
“Ya, tentu
saja..” Nif tersenyum senang. ”Mm… Nan, bangku di sebelah kamu kan kosong,
boleh nggak nanti aku duduk di sana?” Ia tahu ada tiga bangku kosong di kelas
mereka sementara yang terisi sekitar tiga puluhan.
“Akan aku pertimbangkan…”
ujar Nane disertai senyuman sembari melirik sekilas ke arah Nif. ”Bercanda, tentu saja
boleh. Bangku itu milik semua murid yang ada di sekolah ini, dan siapa pun
boleh menempatinya.” Mereka tersenyum lalu menuju kantin. Tempat yang
sebenarnya tidak begitu disukai oleh Nane jika tidak begitu lapar ia lebih
senang menghabiskan waktunya di perpustakaan. ”Istirahat hanya lima belas menit.
Waktu berangkat sekolah aku tidak melihat kamu, memangnya tadi berangkat jam
berapa?”
“Jam enam..”
jawab Nif dengan cepat.
“Jam enam
waktu Jakarta atau waktu kabupaten Rejang Lebong?” tanya Nane datar.
“Beda, ya?”
tanya Nif dengan polos, senyum tipisnya mengembang seakan baru sadar. “Kupikir kan
masih WIB.
“Ya, banget…”
kata Nane. Mereka sudah ada di kantin. Nif melirik arlojinya, jarum kecil itu
menunjukan pukul sebelas. Lalu ia memutarnya agar sesuai dengan waktu setempat.
“Waktu istirahat
tepat pukul sepuluh tiga puluh menit.” kata Nane agar Nif memutar sesuai dengan
waktu yang ada di sekolah mereka.
Nif memesan
bakso diikuti Nane. Nif ingin sekali mencoba bakso, sebab makanan yang nyaris
ada di seluruh pelosok nusantara itu rasanya rata-rata sama. Enak.
…Tapi tolong, jangan membuat bakso dengan daging ayam
busuk atau dari daging tikus ya. Karena itu makanan kesukaan kami.
Di pelajaran
berikutnya Nif sudah duduk bersama Nane, membuat Nif merasa lebih nyaman
bagaimana pun juga duduk berdua di kelas akan terasa lebih rileks. Nane melirik
Nif.
“Kamu jangan
senang dulu, aku biasanya suka berpindah-pindah tempat duduk dan di kelas ini
kita memang sering bergantian teman duduk.” Kata Nane seakan menjelaskan agar
suatu hari Nif tidak kaget melihat sikapnya.
“Ya, aku tahu
tapi terima kasih untuk hari ini. Mm, ngomong-ngomong kamu tadi berangkat diantar
sama Dio, ya?” tanya Nif agak ragu-ragu.
“Nggak.” ujar
Nane jujur dan ia tahu Nif sedang menyelidikinya.
“O…” nada suara Nif menyebutkan ‘O’ terdengar
agak aneh di telinga Nane. Nane melirik gadis yang disukai oleh Dio itu dengan
seksama. Nif memiliki wajah yang sangat indah. Hidungnya kecil dan.............
___________________
Bersambung......>>>>>