Selasa, 17 Desember 2019

RANDU, RIMBA DAN LINTANG









 Randu, Rimba dan Lintang

**
Dua remaja putri sedang berdiri di tangga pertama Tembok China, sebelum melangkahkan kaki menuju tangga berikutnya mereka berhenti karena rasa kagum yang luar biasa, ratusan orang yang mungkin sedang melakukan pendakian tak begitu menarik perhatian kedua gadis itu.
“Coba kamu perhatikan.” Ujar gadis yang berambut panjang dan lurus. “Tempat yang kita injak ini, konon katanya dibangun pada masa dinasti Ming, melewati sembilan provinsi dan panjangnya sekitar 7.300 kilometer.” Tambahnya masih dengan rasa kekaguman tinggi.
“Wow, berarti butuh waktu setahun jalan kaki untuk mencapai ujungnya? Yang benar saja, habis ini kan kita mau jalan-jalan ke tempat lain.” Sahut gadis yang berambut sebahu. Mereka bertatapan sejenak seolah tidak akan mungkin menghabiskan masa liburan mereka di tempat itu. Akhirnya gadis yang berambut panjang menggelengkan kepala dengan pasti.
“Tentu saja tidak.”             
“Ya.” ‘karena habis ini kita akan mengunjungi kota Florence’ sambung gadis berambut sebahu itu di dalam hati karena bagaimanapun juga ia ingin mewujudkan impian kedua orang tuanya yang sudah tiada.
“Oke, kita jalan lagi.” Kata gadis feminin itu dengan badan dibalut jaket tebal sedang gadis yang disebelahnya hanya mengenakan jaket seadanya, scarf terpasang dengan kuat di lehernya yang jenjang dan sepatu kulit teplek. Kedua gadis itu kembali menaiki tangga Tembok China yang menjadi salah satu keajaiban dunia. “Kamu tahu berapa tinggi Tembok ini? katanya sih tidak kurang dari sepuluh meter dan luas jalan yang kita lewati ini lebarnya diperkirankan sekitar lima meter.” Tutur gadis feminin itu saat mereka menaiki tangga satu demi satu dan tak lupa menyaksikan pemandangan Tembok China yang berliku-liku memanjang dan menyusuri puncak pegunungan, kedua gadis itu tak henti-hentinya menganggumi kehebatan orang-orang dulu. Di zaman ini kita boleh bangga dengan temuan teknologi yang semakin maju tapi orang dulu membuat bangunan sangat kuat dan tidak akan runtuh dalam ribuan tahun, luar biasa!
 “Kamu itu seperti pemandu wisata saja, semua ukuran bangunan dan sejarahnya kamu hafal, memangnya waktu di Paris apa yang kamu pelajari?” goda sahabatnya meski begitu ia bangga punya sahabat yang serba tahu.
“Belajar semua hal, termasuk memahami kekerasan kepala kamu.” Ia melirik sahabatnya sejenak. Yang dilirik langsung protes.


---

Korea Selatan,
          Randu dan Rimba mendarat di Bandara Incheon Korea Selatan, dan sebelum keluar dari bandara kedua gadis itu harus menyerahkan sidik jari telunjuk dan foto sebab negara Korea telah menetapkan akan mendaftar sidik jari seluruh wisatawan dewasa sejak tahun 2012 guna untuk memperketat pemeriksaan imigrasi dan mencegah kriminal masuk. Keren! Tapi yang tinggal lebih dari tiga bulan harus menyediakan sidik jari penuh.
           Di depan mereka disambut oleh salah satu warga Korea yang ramah. “Hankuke osin gosel hwanyonghamnida.” Katanya dengan sangat ramah. “Yogi bangmun sarang baramnida. Nanen dangsinel wihe muosel halsu issemnika?”
           Dijawab Randu dengan ramah juga. “Kamsahamnida, wimang. “Uri hankukeso kajangaremdaun jangsurel pyosi hal su issemnika?”
           “Daegu Tower.” Jawab pria itu dengan cepat membuat Randu terperangah hingga langsung menoleh pada Rimba yang berdiri di sampingnya. “Aneh ini orang, kita sudah ada di sini tapi dia malah merekomdasikan ke Daegu Tower.” Ucap Randu  sedang Rimba hanya mengangkat bahu tanda tidak paham karena yang ia tahu Daegu Tower itu adanya di kota Daegu yang lumayan jauh dari tempat mereka saat ini seharurnya pria itu mengatakan Seoul Tower pikir Randu namun demikian ia tidak ingin terlihat aneh di mata orang itu dengan menjawab.
           “Oke, urinen Daegu Tower, kalsu issemnika.” Jawab Randu kemudian dan sepertinya pria itu terlihat baru menyadari jawabanya yang ia beri pada Randu tapi ia tidak meralatnya lagi.
           Pria itu malah bicara lagi. “I sane wichihagoeru Daegu Tower aremdawo.” Katanya dengan nada pasti membuat Randu hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Nanen Indonesia yosongel sarangheyo.”
           “Dangsinen alguisso, siriol hankuk Indonesia gyochigel gyongu.?” Kata Randu dan pria itu hanya melongo seakan tidak percaya lalu ia tersenyum seolah  bangga meski masih terlihat tidak percaya. (4)
>>>>>>>>>>>>...............

Senin, 11 Februari 2019

Anis Kumala Dewi



Patah Hati Membuat Anis Bersyukur

Gadis manis kelahiran Kareng Kidul, Probolinggo ini mengawali karir menulisnya setelah dilanda patah hati akibat pria pujaan hati yang dijodohkan pada perempuan lain.

Rasa terpuruk menggerakkan jari-jemarinya untuk menulis. Mula-mula segala curahan hatinya Anis  curahkan dalam buku harian (diary) kesayangannya. Setelah itu keseriusannya ka lanjutkan dengan bergabung ke grup menulis. Tak sedikit grup menulis ia masuki. Bahkan saking banyaknya, Anis nyaris ada di semua grup menulis berbasis aplikasi whatsApp. Baginya, menyimak adalah cara yang baik untuk belajar. Dari situlah Anis kemudian berhasil menelurkan 4 antologi dan 2 karya masih dalam proses cetak. Antologi pertamanya tentang dongeng diterbitkan oleh KPN salah satu penerbit dari grup menulis.

“Antologi ke 7 di AT Pres masih proses pembantaian, saya suka tulisan saya ‘dibantai’ karena akan banyak pelajaran yang akan saya dapat.” Imbuh penyuka film kartun ini berharap ke depannya bisa menulis novel dan menembus penerbit mayor.

Sekarang Anis rajin menyimak isi grup Jaringan Penulis Indonesia (JPI) meski jarang masuk di komentar ia sering japri ke teman yang ada di dalam grup apalagi ada hal yang tidak ia mengerti dalam hal menulis tentunya.

“Kenal grup WA JPI dari salah satu anggota JPI dan dia idola saya sekarang. Andai tidak pernah merasakan patah hati mungkin saya tidak akan terjun ke dalam dunia menulis dan saya merasa bersyukur mungkin ini sudah takdir saya,” tutur putri seorang petani itu melalui pesan singkat whatsApp.


Beberapa Antologi Anis

Tanpa Dukungan Keluarga
Sulung dari dua bersaudara ini ditinggal sang ibu saat duduk di bangku kelas 2 SMA. Beberapa tahun setelah mangkat ibunya tercinta, bapaknya memutuskan untuk menikah lagi. Kini Anis tinggal bersama adik perempuannya, bersebelahan dengan rumah nenek dan bapaknya yang tinggal di rumah ibu sambungnya.

Anis tak boleh berpergian jauh dari rumahnya. Ia menghabiskan waktunya untuk menulis dan menulis. Baginya, hanya dengan menulis waktunya yang panjang di rumah berubah menjadi singkat.

“Saya hanya tinggal di rumah yang berada jauh dari pusat kota dan mengerjakan semua pekerjaan rumah karena tidak diizinkan kerja di luar. Saya tidak punya laptop, menulis antologi lewat HP, tidak juga ada uang untuk membeli novel atau buku-buku lainnya bahkan tidak diizinkan kuliah. Saya menyalurkan hobi membaca saya di grup akun media sosial ternama yang sering memposting cerita bersambung. Jangan tanya gelar yang saya sandang sekarang ‘perawan tua’ kata mereka, karena di kampung saya rata-rata menikah muda. Dan itu pun keinginan terbesar nenek saya, yaitu agar saya segera menikah, titik.” Ujar Anis yang mengidolakan Buya Hamka, Sapardi dan Asma Nadia.

Karya demi karya lahir dari setiap rangkaian kalimat yang Anis tulis di layar ponselnya. Meski tak mendapat honor saat tulisan perdananya, namun Anis puas dengan karya yang lahir dari tekadnya yang kuat.

“Antologi pertama memang tidak dibayar, namun setelah itu saya dibayar meski tidak banyak tapi saya senang sekali. Guru Bahasa Indonesia saya mengingatkan jika sudah keranjingan menulis jangan lupa sama Allah dan salah satu teman SMA saya ikut memberi support (dukungan) agar suatu saat tulisan saya bisa menembus FTV.” Tambah Anis yang punya cita-cita mengajak keluarganya naik haji.

Di tengah keterbatsan fasilitas, Anis terus berkarya dan menjalin komunikasi dengan anggota komunitas menulis yang ada di grup whatsapp yang diikutinya. Anis selalu ingin membaca banyak buku, karena ia sadar bahwa dengan buku ia bisa membelah dunia.

“Saya ingin membaca buku apa saja, dan jika nanti punya anak akan saya tanamkan sikap untuk bertanggung jawab.” Ujar gadis 20-an itu mengakhiri obrolannya dengan penulis. (HTQ)


Profil:
Nama: Anis Kumala Dewi
TTL.: Probolinggo, 23 Juli 1998
Jenis Kelamin: Perempuan

Pendidikan :
- TK Cempaka Putih (Desa Karemg Kidul, Kec. Wonomerto. Kab. Probolinggo)
- SDN (Karang Kidul, Kec. Wonomerto, Kab. Probolinggo)
- Madrasah Tsanawiyah (Desa Karang Kidul, Kec. Wonomerto, Kab. Probolinggo)
- Pondok pesantren Syekh Abdul Qodir Al-jaelani (Desa Rangkang, Kec. Kraksaan, Kab. Probolinggo)
- SMA Islam Miftahul Arifin (Desa Patokan, Kec. Bantaran, Kab. Probolinggo)

Medsos:
FB: Anis Kumala Dewi
IG: @anskud20


FALLEN ANGEL


             
BAB I
AL. Sadei
Gedung Gramedia dipenuhi pengunjung karena ada jumpa penulis novel remaja di sana yaitu, AL. Sadei. Seorang wanita usia dua puluh tujuh tahun sedang dikerubuti oleh para penggemar novelnya, agar novel yang mereka beli ditandatangi oleh penulis kesayangan mereka. Setelah acara bedah buku sekalian peluncuran perdana novel terbaru dengan judul ‘Rahasia Hati’ yang diterbitkan sebanyak 10.000 eksemplar untuk seluruh Indonesia.
Tidak kurang dari dua jam acara itu berlangsung, AL. Sadei hanya ditemani oleh pihak penerbit yang tadi memberikan sedikit mukadimah tentang karya ke tujuh  yang ditulis AL. Sadei yang mereka terbitkan. Sebelumnya AL. Sadei telah mengatakan kepada pengunjung bahwa novel itu ia tulis dalam waktu dua bulan saja. Bagi penulis senior mungkin bisa dibilang terlalu lama, tapi bagi AL. Sadei menulis novel itu termasuk singkat karena ia bisa menulis novel dalam waktu tiga bulan bahkan lebih, ada juga bisa selesai dalam satu bulan untuk ukuran 150-200 halaman. Tapi novel AL. Sadei bisa sampai empat bahkan tujuh kali cetak ulang, namun sering juga hanya satu kali cetak dalam satu judul.
Beberapa pengunjung mendapat hadiah novel karena berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang disediakan oleh panitia dari toko dan juga tanda tangan  dari AL. Sadei sekaligus foto bersama. Sebelum bubar AL. Sadei bicara kepada pimpinan redaksi  penerbitnya seolah candaan saja.
“Mitha, dalam beberapa minggu ke depan aku ingin istirahat dulu.”
Wanita yang bernama Mitha itu melirik AL. Sadei dengan mimik lucu. “Kenapa, mau semedi cari ilham? Hehehe… kamu ini ada-ada saja.”
“Ngapain cari ilham, ilham sih tidak usah dicari kalau sudah datang ia akan datang sendiri seperti tamu tanpa diundang. Ya sudah, aku mau pulang, kamu cepat sana… pacarmu sudah menunggu tuh.” Goda AL. Sadei.
AL. Sadei telah menyelesaikan sesi acara itu kini ia akan kembali ke tempat kosnya di kawasan Cinere. Dari lantai tiga gedung Gramedia AL. Sadei sudah mengenakan kacamatanya lalu turun melewati  lantai yang menjual berbagai merek  pakaian terkenal sebab toko Gramedia ada di dalam sebuah Mall besar. Beberapa wartawan On-Line sudah menulis apa yang AL. Sadei bicarakan di acara tadi, dalam hitungan menit artikel mereka akan muncul di dunia maya khusus untuk para manusia yang mencari berita di dunia yang saat ini sudah melaju dengan pesat, dulu beberapa orang memandangnya sebagai dunia sesat.
Wanita dengan celana jins sekaligus kaus lengan panjang itu sudah memasuki area parkir motor yang ada di lantai satu. Sejenak ia mengecek ponsel yang ada dikantong celana jinsnya tanpa mengeluarkan dari dalam kantong hanya untuk memastikan ponselnya masih ada. Ia mengenakan jaket kulit dan terakhir memasang helmnya tanpa bisa menutupi rambut panjang yang ia ikat seperti ekor kuda.
Melewati petugas parkir ia masih terlihat tenang dan merasa lega karena acara bedah bukunya berjalan dengan lancar. Setelah melewati halaman gedung Mall ia merasa ada sesuatu menyapanya, rasa rindu pada seseorang. Motor matic yang membawa tubuh semampai itu terlihat berjalan dengan stabil dengan kecepatan biasa namun rasa kangennya seperti  meluncur pada kecepatan diatas  seratus meter perjam. AL. Sadei menarik napas beberapa kali, rasa benci dan kangen sepertinya sedang berperang hebat di dalam dadanya. Tas ransel tipis menempel di punggung meski isinya hanya sebuah laptop dan beberapa surat seakan tidak terasa berat. Sebuah motor besar tiba-tiba lewat di depan AL. Sadei dengan kecepatan tinggi untuk buru-buru berbelok ke sebuah gang yang ada di kiri motor AL. Sadei, dan saat itu lampu sign belakang motor besar itu menyentuh ban depan motor AL. Sadei bersamaan dengan bergetarnya ponsel di dalam kantong celananya karena ada SMS masuk. Motor matic itu terlempar tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya sedang yang punya motor besar itu sudah melesat meninggalkan korbannya tanpa ada satupun yang bisa melihatnya dengan jelas. AL. Sadei jatuh sedang kepala yang terbungkus helm membentur pembatas jalan dengan sangat keras. Beberapa orang berhenti melihat kecelakaan itu dan sebuah mobil pik-up yang ada dibelakang kerumunan orang menjadi sasaran untuk membawa AL. Sadei ke rumah sakit terdekat. Sebelum diangkat ke atas pik-up orang-orang melepaskan helm yang masih membungkus kepala wanita malang itu, tidak ada darah atau luka yang terlihat tapi wanita itu sama sekali tidak sadarkan diri. Dua orang pria mengangkat tubuh AL. Sadei ke atas pik-up dan sekaligus ikut mengantar ke rumah sakit.
Al.Sadei langsung dibawa ke ruang UGD, pihak rumah sakit mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab dan salah satu dari mereka menjelaskan untuk segera ditangani dulu sebelum wanita itu meninggal. Ia mengatakan bahwa wanita itu mengalami kecelakaan tertabrak di jalan takutnya akan mengalami gegar otak dan meninggal. Mendengar kronologi itu seorang dokter tidak menunggu lagi dan segera memerintahkan temannya untuk melaksanakan CT-scan. Tanpa memikirkan siapa nanti yang membayar pengobatannya. Hal, semacam itu seringkali dialami pihak rumah sakit dan tak jarang dokter yang mengiyakan kena SP dari pimpinan rumah sakit dan hal terburuknya bisa dipecat atau menanggung segala biaya si pasien.

@@
Best Friend
Pihak rumah sakit tidak tahu harus menghubungi siapa untuk menjaga pasien yang baru saja mereka rawat dan periksa. Pasien itu mengalami gegar otak dan pergelangan kaki kirinya patah, sedang kedua pria yang mengantarnya ke rumah sakit sudah pulang setelah mengatakan mereka hanya mengantar saja bukan dari pihak keluarga wanita itu. Pasien yang masih tidak sadarkan diri itu ditempatkan di ruang intensive. Dokter yang menanganinya melihat ada ponsel di kantong jins sebelah kiri pasien, tanpa berpikir panjang ia mengeluarkannya karena yakin ada petunjuk di sana, meski mereka sudah memeriksa isi tas pasien tapi mereka tidak menemukan petunjuk yang bisa dihubungi dengan cepat. Jam di dinding putih ruangan intensive menunjukkan pukul 15.07 WIB.
Dokter itu sudah memegang ponsel dan mengamatinya sejenak lalu melirik suster yang masih berdiri bingung di sebelahnya.
“Pasti ada sesuatu di sini.” Ujar sang dokter dengan nada pasti.
“Coba cek nomor kontaknya, Dok, cari nama penting seperti ‘ayah, ibu atau kakak’ dari pasien.” Usul  suster.
“Remaja sekarang jarang menulis nama seperti itu.” Kata dokter itu sambil berusaha membuka ponsel itu dengan hati-hati. Beruntung ponsel itu tidak memakai kata sandi. Dan pertama yang terlihat adalah pesan masuk dari nama yang tertulis ‘Best Friend’
‘AemeL……’
Dokter itu tiba-tiba tersenyum. “Pesan kok hanya satu kata.” Lirihnya lalu ia menatap pasien yang masih tidak sadarkan diri bahkan bisa dibilang koma. “Pesan ini dikirim oleh best friend-nya, aku harus menghubunginya.” Dokter memencet nomor itu tanpa menunggu reaksi dari susternya.
Julia sedang menatap layar ponselnya menyala memunculkan nama AemeL, sudah lama sekali nama itu tidak nongol di LCD itu sehingga menimbulkan rasa deg-degan yang tidak keruan di hatinya. Setelah membiarkannya beberapa detik akhirnya Julia memutuskan untuk mengangkat dan rasa kagetnya bertambah setelah mendengar suara seorang pria.
“Halo……….?”
“Ya. Halo..” jawab Julia dengan nada ragu-ragu.
“Maaf, siapapun nama Anda saya tidak peduli.. tapi ini sangat penting, saya baru saja membuka ponsel seorang wanita ternyata ada SMS Anda masuk dan bertuliskan dengan nama best friend, makanya saya menghubungi Anda. Kami, dan khususnya saya telah membongkar tas pasien namun tidak satupun menemukan yang bisa dihubungi selain di dompet ada SIM dan KTP atas nama Aemel Baes. Wanita itu sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan tabrak lari.”
“Apa?” suara Julia tercekat tidak percaya sekaligus cemas.
“Ini tidak main-main, kami di rumah sakit Harapan Indah menunggu kedatangan Anda secepatnya.” Tegasnya dengan pasti.
“Baik, saya segera ke sana.” Jawab Julia dengan sangat cepat tanpa berpikir lagi apakah telepon itu sebuah penipuan atau tidak mendengar nama AemeL membuatnya tidak bisa berpikir lagi.
Tadinya ia berpikir tidak tahu harus bicara apa saat AemeL meneleponnya dan apa yang AemeL katakan,  karena ia sudah rindu sekali dengan suara itu namun kabar yang ia terima diluar ekspektasinya.
Pihak rumah sakit mencatat nama pasien sesuai nama yang mereka lihat di kartu identitas sekaligus menulis semua hasil lab serta sebab musabab kenapa wanita itu sampai ke rumah sakit.

  
@@
Julia Collection
Julia sedang sibuk membantu rekan kerjanya, wanita single 27 Tahun itu punya dua cabang toko pakaian di pasar dengan sewa satu  ruko lebih kurang dua puluh dua juta pertahun. Ia menjalani bisnis itu dalam lima tahun belakangan, sebelumnya bekerja di sebuah butik milik seorang pejabat daerah. Ada dua orang pegawai di setiap satu toko, sedang Julia sendiri sering bolak-balik Jakarta-Palembang untuk membeli isi tokonya belum lagi harus melayani penjualan secara On-Line.
Hari itu setelah kembali dari toko yang satu tiba-tiba Julia ingat dengan sahabatnya. Wanita itu tersenyum karena sebenarnya bukan hari itu saja ia ingat dengan AemeL bahkan nyaris setiap hari tapi hari itu ia bukan saja ingat tapi ada rasa kangen yang sepertinya tidak biasa. Julia menghela napas berat seolah ingin meringankan beban rasa tiba-tiba menyesakkan dada, ia tidak pernah lagi menelepon AemeL karena percuma sebab wanita itu tidak akan pernah mengangkat telepon darinya, sekali-kali ia mengirim pesan jika ada hal penting sekali dan itu jarang sekali dapat balasan, andaipun ada balasan tidak penting untuk dibalas karena pesannya tidak minta dikonfirmasi. Tapi rasa itu akan perlahan menghilang seiring kesibukannya  membantu anak buahnya melayani pembeli yang jarang sepi di tokonya. Sebuah ponsel selalu menemaninya untuk bisnis On-Line yang ia jalani dua tahun belakangan.
“Kak, ini ada WA dari pelanggan. Katanya kiriman sudah sampai, barang yang datang juga sama persis dengan yang ia pesan.” Pegawai sekitar usia dua puluh tiga tahun itu bicara pada Julia disambut Julia dengan senyuman artinya pelanggannnya puas dengan pelayanan mereka. Ruko yang tidak lebih besar dari lima kali lima meter itu berisi barang dengan mutu bagus meski tidak terlalu memenuhi ruangan sehingga Julia bisa meletakkan sebuah meja dengan dua kursi kecil di pojok bagian belakang ditambah sebuah kipas angin kecil. Sebuah laptop ukuran 11 inch sedang terbuka di atas meja, sekali-kali Julia asik menyimak layarnya untuk melihat perkembangan bisnis di dunia internet. Ia sendiri telah mendaftarkan akun Julia Collection di sana.
Seema wanita yang sekaligus orang kepercayaan Julia mendekati bosnya. “Kak, biasanya sebulan sekali sudah harus belanja ke Jakarta tapi kali ini baru masuk minggu kedua toko ini sudah harus kembali diisi, apa kali ini pesan saja minta dipaketin seperti bulan kemarin?” ia bertanya karena isi toko sudah harus ditambah apalagi pesanam lewat On-Line makin lancar.
Julia melirik Seema lalu berkata “Aku akan ke Jakarta kalau pesan rasanya kurang puas untuk memilih.” Ia memastikan. “Oh, ya, Seema….” Julia berhenti bicara seakan sedang memikirkan sesuatu sedang wanita itu menunggu Julia meneruskan kata-katanya tapi Julia hanya menatapnya seolah lupa tadi ingin bicara apa. “Mungkin aku ke Jakarta dalam dua hari ini dan selama aku pergi kedua toko di Palembang ini adalah tanggung jawab kamu.” Katanya kemudian. Tanpa dijelaskan Seema sebenarnya sudah tahu tanggung jawabnya termasuk mengirimkan pesanan yang  lewat internet.
“Oke, siap..” Seema tersenyum tanda setuju.
“Seema, baju kemeja dewasa ini harganya berapa ya? Aku lupa?” rekan kerja Seema memperlihatkan sebuah kemeja lengan panjang karena ia sedang ditunggu dua orang sepertinya pasangan kekasih yang berminat dengan kemeja itu.
“Seratus lima puluh ribu, bisa kurang kok.” Sahut Seema setelah melihat jenis kemeja yang diperlihatkan temannya dan kalaupun bisa kurang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah karena barang yang ada di toko Julia Collection sudah dikenal bermutu bagus jadi tidak ada yang berani menawar rendah. Julia hanya mengamati mereka dari belakang mejanya lalu kembali mengecek kiriman yang sudah terkirim di internet. Jasa pengiriman tak jarang mengecewakan yang seharusnya sampai dalam waktu tiga atau empat hari malah dua minggu baru sampai dan membuat si pengirim dan pemesan jadi sangat kecewa dan anehnya tidak ada jaminan ganti rugi, yang ada si punya barang harus mengirim ulang. Itulah dunia bisnis tidak selalu manis.
Setelah berkutat beberapa menit di dunia internet Julia meraih ponsel dan membukanya, tidak ada status WA sahabatnya yang satu itu kecuali nomor ponsel yang sudah ia simpan lebih dari tujuh tahun. Kembali ia menghela napas panjang karena teringat lagi dengan wanita satu itu.
Di bagian depan atas ruko ada tulisan besar berbunyi ‘Julia Collection’ itulah satu-satunya usaha yang Julia jalani sekarang yang bisa menghidupi dirinya sekaligus membayar empat orang karyawannya yang kesemua sudah ia anggap keluarga sendiri. Bukan itu saja, selain itu ia masih bisa sedikit-sedikit membantu keluarganya. Julia tidak memiliki rumah pribadi, ia tinggal di tempat kos dengan satu kamar. Meski ada beberapa kakaknya menawarkan untuk tinggal di rumah mereka tapi Julia memilih untuk tinggal sendiri dibanding tinggal di rumah kakaknya yang kaya, punya pembantu dan segala macam. Julia tidak suka mendengar gosip, tidak suka ikut arisan keluarga juga tidak suka pergi-pergi yang tidak jelas. Ia punya banyak teman dari berbagai kalangan, tua ataupun muda, pegawai bahkan kaki lima tapi kini ia hanya dekat dengan wanita yang satu itu, wanita yang selama beberapa bulan ini mengganggu pikirannya. Wanita yang ia anggap lebih dari keluarga sendiri, tidak ada lagi rahasia yang ia simpan dari wanita itu. Semua sudah ia buka dengan sangat jelas, ibarat sebuah buku tidak ada satupun halaman yang wanita itu lewati mengenai kisah hidupnya. Tapi sekarang wanita itu sedang apa? Bagaimana perasaannya Julia tidak tahu. Ia sungguh penasaran.
Tak jarang Julia meneteskan airmata mengingat persahabatan mereka yang tidak biasa. Julia merasa takut kehilangan lantaran sudah banyak kehilangan di dalam hidupnya apakah harus terpisah darinya sampai mati, rasanya tidak ada yang lebih sakit dari tidak tahu kabar seorang sahabat yang sangat disayangi.
Hujan mulai turun dan dalam hitungan detik saja sudah sangat deras, orang-orang yang berniat belanja jadi kalang kabut mencari tempat berteduh tak terkecuali di depan teras Julia Collection. Julia merasa hatinya beku dan saat itulah ia ingin menuliskan pesan.
*
Tepat pukul 20.47 WIB Julia tiba di rumah sakit tempat AemeL Baes dirawat, setelah turun dari taksi ia langsung menuju ruang informasi menanyakan apakah benar AemeL Baes berada di tempat itu. Dengan tas punggung yang ditenteng, rambut semi bob ala polwan, baju kaus serta celana jins dan tanpa polesan Make-Up ia coba bertanya.
“Maaf, Sus, saya ingin tanya, apakah ada pasien yang bernama AemeL Baes dirawat di sini?” katanya pada wanita berseragam perawat, disebelahnya ada dua orang lagi dan yang satunya seorang pria sedang melihat-lihat daftar pasien. Perawat yang ditanya mengangkat wajahnya untuk menatap Julia sedangkan seorang pria dengan pakaian dokter menatap Julia dengan tatapan campur aduk.
“Saya cek dulu.” Sahut perawat akhirnya dan langsung mengecek papan daftar pasien yang ada di sebelahnya. Wanita yang menunggu begitu cemas jelas terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Anda, best friend??!” kata dokter sebelum suster menemukan nama yang ditanyakan sang tamu atau orang yang bermaksud besuk sanak saudaranya.
Julia mengalihkan pandangannya kepada orang tersebut dan sebelum pria itu terlalu jauh mengamati wajahnya Julia mengajukan pertanyaan.
“Anda mengenali saya?” katanya dengan nada rendah belum bisa menghilangkan rasa cemas.
“Ikuti saya…” kata sang dokter dan suster yang melihat mereka sepertinya menebak mereka sudah saling komunikasi lalu membiarkan wanita itu mengikuti perintah sang dokter, tak biasanya dokter mau mengantar orang ke pasien mungkin karena ia menangani pasien yang belum diketahui keluarganya.
Julia sudah berjalan bersisian dengan dokter muda itu dengan rasa was-was yang luar biasa.
“Hampir enam jam, mengapa Anda begitu lama datang? Sahabat macam apa Anda ini?” sergah sang dokter dengan nada tidak enak terdengar di telinga Julia. “Semacet-macet kota ini tidak mungkin menjebak Anda selama itu di jalanan.” Nadanya masih sama namun lebih mengandung amarah membuat Julia makin cemas.
“Bagaimana keadaan AemeL?” Julia ingin segera tahu kondisi sahabatnya tanpa mempedulikan ocehan sang dokter dan ia merasa tidak perlu menjelaskan apa yang telah ia lewati selama kurang lebih enam jam perjalanan sampai membawanya ke tempat yang sama sekali tidak ia harapkan.
Dokter itu menghentikan langkahnya diikuti oleh Julia, kedua orang itu saling tatap beberapa saat di lorong panjang teras rumah sakit.
“AemeL Baes masih tidak sadarkan diri hingga detik ini.” Kata dokter dengan nada tenang namun tidak demikian dengan Julia.
“Apa maksud Anda? Dia koma?”
Dokter tidak mengangguk juga tidak menggeleng kecuali diam karena baru kali ini ada orang menyebutnya ‘Anda’ bukan ‘dokter’ dan wanita yang kini ada di depannya terlihat punya karakter tidak biasa. “Ayo…” ia kembali mengajak Julia jalan. “Anda bukan saja kelihatan cemas tapi juga terlihat sangat lelah. “Aku tidak menyebut AemeL koma, hanya saja belum sadarkan diri. Ia mengalami tabrak lari.” Lanjutnya.
“Tabrak lari?”
“Ya, memangnya aneh? Ada ratusan kasus tabrak lari di ibukota ini setiap harinya.” Mereka sudah tiba di ruang rawat intensive. “Ini, AemeL ada di dalam, tunggu, biar saya panggil suster keluar dulu.” Dokter membuka pintu lalu mengisyaratkan agar suster jaga keluar. Saat keluar suster melirik sekilas pada Julia dengan tatapan penuh tanya.
“Apa dia si Best Friend, itu?” ujarnya membuat Julia bingung meski suster jaga berbicara dengan dokter.
“Sepertinya, ya, semoga saja ia benar-benar Best Friend sehingga kita tidak harus menunggunya selama enam jam.” Sindir dokter keras sengaja tertuju pada Julia.
“Maaf,.. “ Julia merasa mulai tidak sabar langsung membuka pintu dan menerobos masuk untuk segera melihat kondisi AemeL tanpa harus melayani dokter dan suster itu untuk berdebat. Namun di depan pintu bagian dalam ia tertegun takkala melihat sosok seorang wanita yang terbaring di tempat tidur pasien dengan kondisi memprihatinkan. Alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Julia menutup mulutnya dengan telapak tangannya agar jeritannya tidak keluar, saat itu pundaknya disentuh oleh tangan dengan lembut seakan coba menguatkannya.
“Ia sudah menunggu kamu dari tadi, jika saja ia bisa berbicara maka ia sudah marah sama kamu. Sekarang kamu boleh mendekatinya dengan catatan tidak boleh berbuat macam-macam.” Sang dokter bicara karena merasa sudah yakin dialah Best Friend itu namun ia tidak mau pasiennya lebih parah.
Tas di bahu Julia sudah jatuh ke lantai kakinya mendekati AemeL sedangkan dokter masih mengamati sosok itu, di matanya wanita itu terlihat sangat ideal entah mengapa ia merasa akan menemukan banyak keunikan.
_______

Bersambung>>>>>>>

Jumat, 18 Januari 2019

DIO, GADIS REJANG







DIO, SEMULEN JANG
**
BAB 1
REJANG LEBONG
**
Pertemuan

Di sebuah kampung yang begitu indah, nyaman, sejuk serta hijau dan bisa dipastikan jauh dari polusi udara apalagi pemanasan global. Kendaraan yang hilir mudik seperti tidak kenal dengan yang namanya macet meski tidak bisa dibilang sepi, apalagi kendaraan roda dua yang sudah menjamur, ditambah lagi jalanan mulus serta terawat dengan rapih.
Sebuah gunung besar terlihat berdiri kokoh di belakang perkampungan, layaknya tembok hijau raksasa yang memagari bagian belakang kampung hingga terlihat seperti pemandangan indah yang menakjubkan, dan didampingi dengan bukit kembar, namanya gunung Pabes dan Tebo Tepuk. Nama yang unik namun indah, seindah gunungnya. Dulu gunung itu sangat hijau tapi sekarang mulai memudar, karena pohon-pohon besarnya sudah berkurang.
Kampung Nane terletak di perlintasan Curup-Muara Aman, empat kilo meter dari Muara Aman dan sekitar 71 kilo meter dari kota Curup, sudah menjadi kelurahan yang terdiri dari tiga kecamatan. Juga sudah jadi sebuah Kabupaten, terdiri dari beberapa kelurahan.
Penghasilan para penduduk berasal dari pertanian dan perkebunan. Ada beberapa orang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil.
Di Kabupaten Lebong sudah banyak sekali sekolah SMA Negeri, salah satunya yang tertua yaitu sekolah tempat Nane di Muara Aman. Yang berada di lingkungan pasar Muara Aman.

**

Siang itu, Nane sedang duduk di teras rumahnya yang sederhana bahkan sangat sederhana. Rumah itu tepat di pinggir jalan yang tidak begitu jauh dari persimpangan jalan. Ia menanti kedatangan Dio sejak lima belas menit yang lalu. Kata orang pekerjaan menunggu adalah paling membosankan, tapi tidak berlaku buat Nane. Dio sudah meneleponnya dan mengatakan akan muncul sepuluh menit lagi, meski sudah lewat, ia tidak akan menelepon balik untuk memastikan. Nane asyik menikmati lagu di ponselnya yang murah dan tidak dilengkapi dengan memory external yang hanya bisa menyimpan beberapa lagu saja.
Sebuah lagu Astrid dengan judul ‘Tentang Rasa’ lalu menyusul lagu Ungu yang bertajuk ‘Percaya padaku’ Nane sangat menikmati lagu-lagu dari negeri sendiri khususnya ‘Kotak’, meski hampir semua remaja Indonesia sedang menggilai anak-anak boyband atau girlband juga demam bola TIMNAS, namun bagi Nane yang berada jauh dari Glora Bung  Karno hanya cukup mendoakan saja semoga Indonesia berjaya di mata dunia dan bisa menjadi kebanggaan semua rakyatnya.

*

Beberapa menit berikutnya sebuah mini bus berhenti di depan rumah Nane, tepatnya satu rumah di sebelah rumah yang posisinya pas di depan rumahnya. Rumah itu kosong karena baru ditinggal penghuninya kira-kira sebulan yang lalu. Dengan berhentinya mini bus itu tidak membuat Nane beranjak sedikitpun dari tempat duduknya, ia masih bersandar di kursi kayu yang di terasnya dengan headset masih menempel di telinganya. Satu dua orang lewat dan angkutan umum memang terlihat lewat sekitar lima menit sekali, namun di simpang tiga itu banyak ojek yang mangkal. Rumah Nane tidak jauh dari simpang, namun rumah kosong itu tepat di sudut simpang.
Seorang wanita empat puluhan terlihat keluar dari mini bus diikuti seorang gadis sepantaran Nane kemudian menyusul dua buah koper yang lumayan besar dikeluarkan oleh sang kenek. Dua wanita itu seperti ibu dan anak. Berikutnya mini bus itu berlalu dan meninggalkan dua wanita yang sangat asing di mata Nane. Kedua wanita itu sedang terlibat perbincangan serius lalu mengangkat koper mereka ke atas teras rumah kosong itu, bisa Nane pastikan kedua wanita itu tidak sedang menunggu mobil sebab tidak mungkin orang menunggu mobil meletakkan kopernya di teras rumah orang meski pun kosong.
Nane masih mengamati kedua wanita itu, si ibu terlihat melirik ke kiri dan ke kanan dan si gadis yang memiliki rambut panjang tanpa sengaja beratatapan dengan Nane, tanpa sadar Nane menciptakan sebuah senyuman dan itu spontan. Dibalas gadis itu dengan disertai anggukan kecil, tampangnya ‘Laura Basuki’ sekali. Si ibu lalu meninggalkan anaknya bersama kedua koper mereka. Gadis itu melirik dua buah kursi di teras lalu menarik satunya untuk ia duduk. Ia melirik ke Nane lagi saat Nane sedang menatap jam tangannya.
Dua puluh menit sudah berlalu dan belum pernah Dio terlambat separah itu, ‘Ke mana itu anak?’ pikir Nane. Tanpa diliputi rasa kesal, Nane beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumahnya, beberapa saat kemudian ia keluar lagi dan gadis yang di depan itu masih duduk menemani kopernya sambil memainkan ponsel di tangannya. Dia terlihat lelah tapi tidak ingin menampakannya.
Nane memutuskan untuk menyapa gadis itu dengan menghampirinya. Ia menyeberang jalan. Melihat gelagat Nane, gadis itu berdiri seakan menghargai Nane meski belum tahu apa yang akan dilakukannya.
“Hai…?” Gadis yang terlihat feminin itu menyapa duluan.
“Hai….” Balas Nane. ”Mm…..?”
“Saya, Anifatul Hasannah.” Ia menatap gadis semampai yang tidak bisa dimiripkan dengan siapa pun. Karakter wajahnya sangat kuat, kulit sawo matang nyaris putih, rambut lurus sebahu tanpa poni, giginya sangat rapi dan senyumnya itu sangat sempurna.
Nane menyadari sepertinya gadis itu bukan orang satu kampung dengannya dan jelas sekali, karena tidak ada gadis seusianya tidak ia kenal. Nane harus menggunakan bahasa nasional dengan gadis itu.
”O, saya Nane, Nane Doyosi.” Mereka saling mengulurkan tangan dan berjabat erat. ”Aku belum pernah melihat kamu sebelumnya dan wanita yang tadi……?”
“Wanita yang tadi ibu saya, dia sedang ke Puskesmas untuk bertemu dengan kepala Puskesmas. Kami akan menempati rumah ini.”
“Ibu kamu perawat, ya?” kata Nane sekaligus menebak dengan pasti.
“Kok tahu?”
“Nebak saja, ini rumahkan pernah ditempati oleh seorang perawat.” Jelas Nane. Anifatul tersenyum dan mempersilakan Nane duduk di kursi yang satunya. Nane menurut, ia duduk dan menatap Anifatul. Gadis itu juga melakukan hal yang sama. ”Kamu masih sekolah?”
“Ya, kelas tiga. Aku harap kamu juga masih sekolah seperti aku, agar kita bisa satu sekolah.
“Maksud kamu, kamu pindah sekolah?”
“Aku hanya memiliki ibu, dia pindah tugas dan otomatis aku harus menemaninya.”
“O.” Nane manggut-manggut kecil dengan mulut berbentuk bulat.
“Pindahan dari Jakarta, lumayan jauh. Satu jam perjalanan udara dan hampir tiga jam perjalanan darat.” Tutur Anifatul seakan ingin menceritakan perjalanan panjangnya nyaris seharian ini. Dan Nane sangat paham sekali, untung sekarang jalanan sudah sangat bagus. Biasanya perjalanan dari Bandara Fatmawati Soekarno menuju kampungnya membutuhkan waktu empat jam. Dan Nane tidak tahu berapa jam perjalanan dari rumah Anifatul menuju Bandara SOETTA.

*

Sebuah motor besar berhenti di depan rumah Nane memaksa Nane melirik arlojinya, ‘Dua puluh lima menit’ gumannya. Anifatul melirik Nane lalu menoleh pada sosok yang sedang membuka helm itu ternyata seorang pria jangkung, menawan dengan rambut lurus semi cepak, kulit coklat, dan hidung mancung serta tubuh yang atletis.
“Kamu kayaknya kedatangan tamu, tuh.” Ujar Anifatul namun Nane sudah hafal sekali dengan suara motor milik Dio. Pria itu turun dari motornya sebelum naik ke rumah Nane, Nane memanggilnya dengan tepukan tangannya. Pria itu menoleh dan wajah plamboyannya langsung tertangkap oleh Anifatul, sesaat pria itu dan Anifatul saling tatap. Nane melambaikan tangannya agar Dio datang ke tempat mereka.
Dengan langkah pasti ia menuju ke tempat Nane dan wanita asing itu sedang duduk. Anifatul mengamati dari sepatu hingga ujung rambutnya. Mendekati sempurna. Pria itu tersenyum dengan raut wajah penuh penyesalan kepada Nane.
“Maaf, Nan.., uku telat nyen.” (Maaf, Nan… aku sangat terlambat.) Katanya dalam bahasa Rejang asli. Anifatul tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.
“Duai puluak tujuak menit pat puluak tujuak detik.” (Dua puluh tujuh menit empat puluh tujuh detik) Kata Nane setelah melirik jam tangannya. ”Sudoba…” (Sudahlah…) ia pun membalas dengan bahasa Indonesia lalu pria itu sudah melirik Anifatul yang mengangguk ramah. ”Kamu pasti punya alasan yang sangat kuat, kan? Kita pakai bahasa Indonesia, sebab yang ada di depan kamu sekarang ini adalah Anifatul Hasannah, pindahan dari Jakarta. Dan kita akan pergi setelah ibunya kembali.” Lanjut Nane. Ia tidak ingin gadis itu tersinggung dengan bahasa mereka. Nane menoleh pada Anifatul. Anifatul melirik Nane kemudian pada pria itu. ”Anif… ini Dio, kenalkan…” lanjut Nane.
Pria yang bernama Dio itu mengulurkan tangannya disambut erat oleh Anifatul sambil berdiri.
“Anifatul Hasannah, boleh dipanggil dengan Nif.”
“Oh, baru pindah, ya?” kata Dio tak kalah ramah.
“Ya, begitulah…” ujarnya coba bersikap wajar. Di hati kecilnya mengatakan pria yang ada dihadapannya benar-benar menawan, beralis tebal dan berwajah oval.
“Ibunya sedang menemui kepala Puskesmas untuk mengambil kunci rumah.” Jelas Nane kemudian.
“Aku tidak apa-apa kok sendiri di sini, jka kalian mau pergi.” Ia tidak enak hati pada dua pasangan sejoli itu apalagi ia tahu Nane sudah lama menunggu pacarnya datang.
“Nggak apa-apa kok, kita tungguin.” Kilah Dio sambil duduk di kayu pagar teras. ”Di Jakarta dimananya?” Dio mulai bertanya.
“Jakarta Selatan.” Jawab Nif dengan tenang.
“Oh,…” nada suara Dio mengandung arti lain. Bisa ia bayangkan jika remaja kota akan tinggal di kampung seperti Anifatul itu. Akhirnya dia tersenyum pendek.
“Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu?”  Nane merasa aneh dengan senyum Dio dan ia hafal betul dengan bahasa tubuh Dio. Bagaimana ia mengagumi sesuatu dan menyepelekannya. Dan Nif juga merasakan Dio sedang menertawakannya.
“Ya, sedang ngebayangin kehidupan remaja-remaja metropolitan saja” Dio menjawab santai.
“Begitu, ya?” Nif merasa sedikit tersinggung tidak menyangka pria kampung seperti Dio bisa menertawakannya, jarang orang melakukan itu bahkan kebanyakan pria mengaguminya dan bahkan berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayangnya. Bagaimana pun juga Nif adalah sosok seorang gadis yang banyak diidamkan pria. Dia memiliki semua yang pria harapkan, kulit putih, langsing, rambut panjang, hidung mancung juga ramah. Tapi dia tidak tahu Dio mendambakan seorang wanita yang berotak cemerlang, baik dan pemberani, satu lagi… yaitu tulus.
“Jangan salah paham gitu dong Nif, yang ada di otakku adalah gadis-gadis manja yang sering berkeliaran di mol untuk menghabiskan uang orang tuanya. Syukur-syukur orang tuanya tidak memakai uang rakyat.” kata Dio dengan enteng dan kali ini Nif merasa tersinggung.
“Kebanyakan nonton televisi sih.” Timpal Nane agar Nif tidak terlalu tersinggung.
“Hei..! mana ada laki-laki seperti aku betah duduk di depan TV?” ia menatap Nane sejenak.
“Itu, ibuku sudah kembali.” Tukas Nif setelah melihat ibunya berjalan ke arah mereka. Mereka menunggu wanita itu naik ke teras. Lalu beramah-tamah sejenak, kenalan dan Dio membantu Nif dan ibunya membawa koper ke dalam. Rumah itu ternyata sudah dibersihkan oleh petugas puskesmas dua hari sebelum Nif dan ibunya datang.
Sebelum pergi, Dio berpesan kepada kedua wanita itu agar tidak boleh sungkan-sungkan minta bantuan jika mengalami kesulitan dalam segi apa pun. Nif merasa sangat senang mendengar kata-kata Dio, sebagai gadis yang baru menjejaki kakinya di daerah asing, dia sangat membutuhkan kata-kata seperti itu, apalagi Dio mengatakannya langsung. Bagi Nif rasanya pasti berbeda dan ia sudah melupakan rasa tersinggungnya.

*

Di atas motor, Dio bertanya kepada Nane.
”Kamu tidak mau tahu kenapa aku terlambat?” (Bahasa Indonesia saja, ya) ‘Penulis’
“Memangnya mau kasih tahu? Kalau merasa perlu kenapa tunggu aku bertanya?” sahut Nane.
“Ya ya, aku libur kuliah selama dua bulan.”
“Oh, ya…?” itu bukan kaget, Nane tidak gampang kaget apalagi soal Dio libur habis semester.
“Kok, cuma oh ya? Ini kabar baik, kita bisa menginap di kebun dan menunggu durian runtuh seperti tahun-tahun sebelumnya.” Dio rada kesal Nane tidak menyambut gembira ceritanya.
“Terus… apa hubungannya dengan datang terlambat?” kata Nane tanpa bermaksud untuk protes. Ia hanya ingin tahu kenapa Dio bisa ngaret separah itu.
“Sebelum datang ke rumah kamu, aku menunggu kedatangan pak Ramli untuk membawakan barang-barang yang kita perlukan di pondok nanti.” Motor Dio berbelok ke arah pasar untuk mengantar Nane membeli buku. Beberapa saat saja, motor besar itu sudah berhenti di depan toko buku. Keduanya masuk ke dalam toko. Nane mengambil apa yang ia butuhkan. Buku IPA, Dio menggodanya.
“Buat apa sih beli buku gituan? Nilai bagus juga percuma kan kalau tidak mau meneruskan kuliah?” cerocosnya dengan cerewet.
Nane menatap Dio sejenak. ”Kamu tahu kan aku tidak perlu mengulanginya setiap hari? Dan, tidak ada yang percuma di dalam hidup ini. Lagian aneh saja seandainya nanti adikku bertanya pada orang lain mengenai pelajaran yang tidak bisa ia jawab di PR-nya.” Jawab Nane tidak mau kalah.
“Ya ya, tapi kan aku masih punya banyak buku dan aku rasa kurikulum dua tahun yang lalu tidak akan jauh berbeda dengan yang sekarang dan kita bisa memesan buku lewat internet yang lebih komplit dan bermutu, hmm…?” sahut Dio sambil bermaksud membayar buku Nane dan langsung ditepis Nane. Dio mengalah asalkan Nane mau diajak makan. Nane tidak mau membeli di online karena kebanyakan buku bajakan, ia tidak mau membeli bajakan kasian sama penulis bukunya.
Nane menurut dan ia hanya memilih pesan es campur.
Di warung sederhana Dio ikut pesan es, buah segar dicampur dengan susu. Lalu menatap Nane, gadis itu memang memilih tidak akan melanjutkan sekolah dengan alasan orang tuanya tidak mampu membiayai kuliahnya dan ia memilih adiknya yang akan sekolah tinggi karena adiknya seorang laki-laki. Dio  memang tidak bisa memaksa kehendak Nane meski ia sangat menyayangkannya. Karena baginya pribadi, pendidikan di zaman sekarang tidak pandang pria atau wanita, semuanya berhak menimba ilmu.
“Nan, besok setelah kamu pulang dari sekolah kita langsung ke kebun, ya? Aku sudah tidak sabar mendengar suara buah durian jatuh dari pohonnya yang menimbulkan suara ‘bug’ di tanah.”
“Mana bisa seperti itu, setelah pulang aku harus membereskan rumah dulu, masak untuk makan sore bagi keluargaku. Kalau tidak masak, nanti pulang dari sawah orang tuaku makan apa? Dan adikku pasti akan berteriak kelaparan.” ia menatap Dio sekilas.
“Alasan kamu selalu saja seperti itu. Eh, ngomong-ngomong si Nif itu cakep juga ya? Dan namanya unik.” Tiba-tiba Dio meluncurkan nama Nif.
Nane tersenyum mendengar pujian tulus dari Dio untuk Nif. Memang tidak bisa dipungkiri, Nif memang berbeda. Tidak sedikit gadis cantik di kampung mereka tapi Nif adalah produk luar kota yang sedikit banyaknya akan membawa keistimewaan sendiri. Dan, Nane sendiri tidak bisa disamakan dengan Nif. Nane gadis manis yang sering membiarkan kulitnya bersahabat dengan matahari. Nane memiliki gigi yang bagus, tubuh langsing yang agak sedikit berotot, tinggi semampai rada pendiam dan mempunyai senyum yang sangat menawan.
“Kamu suka ya, sama dia?” hela Nane kemudian dengan nada agak pelan.
“Sepertinya dia perempuan yang aku impikan selama ini.” Ia tersenyum serius pada gadis itu. ”Kira-kira dia mau tidak ya, kalau aku tembak untuk menjadi pacarku? Semoga saja dia tidak punya pacar di Jakarta atau setidaknya sudah putus.” Harapnya agak berlebihan.
Lagi-lagi Nane tersenyum. Tidak ada gadis yang menolak Dio untuk menjadi pacarnya. Dio memiliki postur tubuh yang tidak kalah kerennya dengan pria-pria kota, bahkan seorang model sekalipun. Dio malahan terlihat lebih macho, kuat dan hanyak kelebihan positif yang ia miliki.
‘Hei, Nane! kamu ini kenapa? Kenapa baru sekarang kelebihan-kelebihan pada diri Dio menyeruak di kepala kamu?’ Nane berguman sendiri. ’Sial!!’ ia memaki dirinya.
“Apa si Nif itu tipe cewek terakhir kamu??” tambahnya lagi.
“Maksud kamu?” Dio mengeryitkan keningnya seakan melupakan sesuatu.
“Aku sudah mendengar puluhan cewek yang kamu sukai dan selalu berakhir dengan kata-kata ‘Dia ternyata bukan tipeku..’ apakah itu juga akan terjadi dengan Nif?”
“Jangan ngomong gitu dong Nan, setidaknya aku kan sudah bicara jujur sama kamu, kamu sendiri tidak pernah bicara tentang perasaan kamu dengan aku. Aku tidak pernah tahu siapa pria yang kamu sukai, apakah pria itu ada di sekolah kamu? Atau jangan-jangan kamu jatuh cinta dengan salah satu guru di sekolahmu. Kamu pikir aku tidak tahu ada guru keren di sana? Aku juga pernah sekolah di tempat kamu, ingat itu.” Kata Dio seolah memarahi gadis itu.
“Andai itu terjadi,” Nane tertawa tak tertebak. ”..dan aku tidak akan memberitahukannya ke kamu.” Tambah Nane dengan pasti membuat Dio rada keki karena tidak ingin ada yang Nane sembunyikan darinya, sebagaimana kejujurannya pada gadis itu selama ini.
“Jadi itu arti persahabatan kita selama ini?” Dio mulai terlihat serius. ”Sampai detik ini aku tidak pernah tahu tentang perasaan kamu yang sebenarnya. Siapa yang kamu sukai dan siapa yang kamu benci? Dan, pada siapa kamu pernah jatuh cinta? Usia kamu itu sudah tujuh belas tahun, mustahil kamu tidak pernah merasa menyukai pria di kampung ini. Apa iya kamu belum pernah jatuh cinta?” Dio tambah penasaran.
Nane menghirup es campurnya lalu menatap Dio. ”Apa iya seorang gadis yang menginjak usia tujuh belas tahun bahwa hal terpenting dalam hidupnya adalah cinta!?? Apa ada peraturan seperti itu? aku rasa tidak!” Nane membela diri.
Dio tertawa. ”Nane—Nane, andai saja kamu pacarku sudah aku cium kamu.” Kata Dio tidak main-main. Nane ikut tersenyum mendengar kata-kata konyol Dio.
Tiba-tiba mata Nane tertuju pada tumpukan kayu besar yang masih basah, yang disusun rapih di seberang jalan. Sepertinya akan siap dijual.
“Di, lihat deh di seberang jalan itu!” ujar Nane. Mata Dio menoleh ke sana di mana terlihat batang-batang kayu yang dipotong kira-kira berukuran satu meter dengan masih berbentuk bulat sebesar paha orang dewasa. Disusun sekitar satu kubik. ”Kebayang tidak sih, jika setiap hari ada sebanyak itu pohon ditebang, gimana jadinya kampung kita ini? Lama-lama gunung kesayangan kita akan botak.” Nane khawatir.
“Kamu benar Nan, tapi apa yang harus kita lakukan?” Dio merespon dengan cepat.
“Kita lihat saja nanti. Kita pulang, yok.” Ajak Nane. Dio pun mengiyakan.


**


Sekolah Baru

Pagi-pagi sekali, Nif sudah tiba di SMA  Negeri 1 Muara Aman Lebong Utara, sekolah itu sempat membuat Nif takjub karena kebersihan dan keindahannya. Nif pikir seperti di Jakarta akan kena macet, dan tidak menyesuaikan selisih waktu yang ada di Jakarta dan Bengkulu, apalagi di Rejang Lebong tempat Nane, selisih waktunya lebih lambat sekitar 20 menit dari waktu Jakarta.
Untung saja sudah ada orang yang datang, ia datang ke ruang guru untuk melapor kepindahannya namun yang ia temui hanya tukang sapu ruangan. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari kantin, meski pun sudah sarapan namun ia ingin melihat suasan kantin di sekolah itu. Ibu kantin mengamatinya sejenak.
“Ibu baru lihat kamu, apa kamu anak pindahan?” katanya dengan bahasa daerah Rejang. Biasanya ia menggunakan Bahasa Bengkulu yang hampir mirip dengan Bahasa Padang. Di Muara Aman bahasanya sudah campur aduk, karena sudah banyak para pendatang. Dari Padang, Cina bahkan dari pulau Jawa.
“Maaf, Bu?” tanya Nif tidak mengerti. Ia mengamati wanita bersih dan putih itu, penampilannya tidak kalah dengan ibu kantin yang ada di sekolah internasional, pantas saja kantinnya terlihat bersih dan rapih.
Yakinlah dia bahwa gadis semampai itu anak baru, bukan anak kelas satu yang baru masuk, apalagi ini sudah pertengahan semester. ”Oh… pantesan datangnya pagi sekali.” Ia mulai menggunakan bahasa nasional. ”Pindahan dari mana? Mm… silakan duduk.” Katanya ramah.
“Terima kasih, Bu.” Nif masih mengamati wanita yang kira-kira tidak jauh lebih tua dari ibunya. Ia duduk di bangku panjang dan Ibu kantin langsung menyuguhkannya segelas teh manis yang hangat.
“Gratis untuk hari pertama kamu.” Ujarnya kembali ramah.
“Tidak usah Bu, saya sudah sarapan kok.” Nif merasa tidak enak.
“Tidak apa-apa, minum saja.” katanya tulus membuat Nif tidak enak menolak. Si ibu sudah kembali merapikan dagangannya. Penampilan wanita itu memang sederhana namun keramahannya terlihat tidak di buat-buat.
“Terima kasih ya, Bu.” Kata Nif kemudian. Ia menyimak apa saja yang tersedia di kantin itu. Ada bakso, nasi goreng, beberapa gorengan dan berbagai minuman ringan. Ruang kantin yang tidak jauh dari ruang guru itu angat luas. ”Ibu sendirian?” tanya Nif mencoba berbincang.
“Tidak, sebentar lagi ada yang datang membantu Ibu, kalau sendiri bisa kualahan apalagi kalau anak-anak sudah keluar istirahat.
“Mm…” Nif paham sekali. ”Ini SMA Negeri 1 Lebong Utara, apa Ibu kenal dengan perempuan yang namanya Nane?” ia berharap sekali Nane sekolah di tempat barunya itu.
“Nane, si jangkung itu? waktu kelas dua, dia ketua OSIS di sekolah ini, anaknya jarang ngomong tapi baik dan pintar. Dan, satu lagi…” wanita itu berhenti sebentar merapikan perabotan kantinnya untuk menatap Nif. ”Anak sulung Ibu, tergila-gila sama dia.” Ibu kantin tertawa seakan menertawai anaknya sendiri tapi tidak terlihat sedikitpun ia membenci Nane yang terlihat di wajahnya hanya rasa kagumnya pada gadis itu. ”Meski pun sudah kuliah dan tinggal di tempat kos, anak Ibu masih sering menanyakan Nane. Tapi dengar-dengar guru olahraga di sekolah ini mau menjadi pacarnya Nane, entah itu benar atau tidak Ibu juga tidak tahu pasti. Tapi kata anak-anak, Nanenya tidak mau.” Katanya sedikit senang. ”Mm.. ngomong-ngomong nama kamu siapa dan pindahan dari mana?”
“Nama saya Anifatul Hasannah pindahan dari Jakarta…” ia ragu-ragu mengatakan kata Jakarta malu kalau wanita itu akan menertawainya. Tapi wanita itu tidak menertawainya sama sekali, ia bahkan tidak peduli seperti apa Jakarta itu, yang ia tahu apa pun keputusan para petinggi Jakarta sering menyusahkan kehidupannya di kampung. Nif merasa bersyukur dan berpikir, tentu saja Nane menolak pria mana pun karena Dio adalah pria yang paling keren yang pernah ia lihat. Nif membatin. Hingga detik ini ia masih ingat dengan sangat jelas bentuk garis-garis wajah Dio, lain dari pada yang lain. Kulitnya memang terlihat coklat, tapi dari penampilannya sama sekali tidak terlihat dari kalangan orang susah. Ia punya wibawa, berkelas dan tidak gampang mengagumi sesuatu. Entah kenapa Nif merasa tertantang. ”Bu… sepertinya sudah ada guru yang datang, saya harus pergi untuk bertemu dengan salah satu guru, terima kasih atas suguhan teh hangatnya.” Kata Nif tak kalah tulus.
“Oh, ya. Sama-sama.”

*

Sepuluh menit berikutnya Nif masuk ke dalam kelas bersama seorang guru yang akan memberi pelajaran di kelas itu. Nane yang duduk di bangku tengah mengangkat kepalanya.
‘Ternyata dia anak IPA juga.’ Gumannya dalam hati.
“Selamat pagi, Paaaak….” sapa anak-anak pada guru mereka.
“Pagi……” balas guru perlente itu. Dia asli dari Jawa Timur mengajar bidang study fisika.
Acara perkenalan singkat pun berlangsung, tidak ada yang istimewa. Hanya ada satu dua murid pria yang terlihat norak, biasalah seperti pria-pria pada umumnya di muka bumi ini kalau melihat wanita langsung merespon. Nif disuruh duduk di bangku kosong, sekilas ia dan Nane saling pandang. Nif tersenyum dan berusaha dibalas oleh Nane sewajarnya.
Pelajaran pertama dilewati Nif dengan agak berat, dalam arti masih kaku. Tidak ada suara-suara berisik yang terdengar, siswa terlihat tekun sepertinya sangat memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Nif jarang belajar dalam kondisi hening dan serius seperti itu, tapi ada juga hal yang bisa diselingi dengan candaan, dan guru masih terlihat ingin menjalin kedekatan dengan murid-muridnya.
Adegan tanya jawab pelajaran pun berlangsung sangat teratur, Nane terlihat agak mendominasi pelajaran. Dan, sepertinya Nif mulai menemukan kenyamanan di dalam kelas apalagi jendela bagian atas terbuka semua sehingga angin alam masuk dengan sangat bebas.
Pada saat jam istirahat tiba sama saja dengan sekolah pada umumnya. Ada yang berusaha kenal lebih dekat dengan Nif, ada yang ke kantin dan tidak sedikit juga yang ke perpustakaan. Tidak ada yang bersikap berlebihan.
Nane menghampiri Nif. “Selamat bergabung di sekolah ini, sudah selesai acara kenalannya? Di sini tidak ada kebiasaan mem-bully murid baru. Ikut ke kantin nggak?” ajak Nane dengan nada biasa, layaknya pada teman biasa pula.
“Ya, tentu saja..” Nif tersenyum senang. ”Mm… Nan, bangku di sebelah kamu kan kosong, boleh nggak nanti aku duduk di sana?” Ia tahu ada tiga bangku kosong di kelas mereka sementara yang terisi sekitar tiga puluhan.
“Akan aku pertimbangkan…” ujar Nane disertai senyuman sembari melirik sekilas ke arah Nif. ”Bercanda, tentu saja boleh. Bangku itu milik semua murid yang ada di sekolah ini, dan siapa pun boleh menempatinya.” Mereka tersenyum lalu menuju kantin. Tempat yang sebenarnya tidak begitu disukai oleh Nane jika tidak begitu lapar ia lebih senang menghabiskan waktunya di perpustakaan. ”Istirahat hanya lima belas menit. Waktu berangkat sekolah aku tidak melihat kamu, memangnya tadi berangkat jam berapa?”
“Jam enam..” jawab Nif dengan cepat.
“Jam enam waktu Jakarta atau waktu kabupaten Rejang Lebong?” tanya Nane datar.
“Beda, ya?” tanya Nif dengan polos, senyum tipisnya mengembang seakan baru sadar. “Kupikir kan masih WIB.
“Ya, banget…” kata Nane. Mereka sudah ada di kantin. Nif melirik arlojinya, jarum kecil itu menunjukan pukul sebelas. Lalu ia memutarnya agar sesuai dengan waktu setempat.
“Waktu istirahat tepat pukul sepuluh tiga puluh menit.” kata Nane agar Nif memutar sesuai dengan waktu yang ada di sekolah mereka.
Nif memesan bakso diikuti Nane. Nif ingin sekali mencoba bakso, sebab makanan yang nyaris ada di seluruh pelosok nusantara itu rasanya rata-rata sama. Enak.
…Tapi tolong, jangan membuat bakso dengan daging ayam busuk atau dari daging tikus ya. Karena itu makanan kesukaan kami.     
Di pelajaran berikutnya Nif sudah duduk bersama Nane, membuat Nif merasa lebih nyaman bagaimana pun juga duduk berdua di kelas akan terasa lebih rileks. Nane melirik Nif.
“Kamu jangan senang dulu, aku biasanya suka berpindah-pindah tempat duduk dan di kelas ini kita memang sering bergantian teman duduk.” Kata Nane seakan menjelaskan agar suatu hari Nif tidak kaget melihat sikapnya.
“Ya, aku tahu tapi terima kasih untuk hari ini. Mm, ngomong-ngomong kamu tadi berangkat diantar sama Dio, ya?” tanya Nif agak ragu-ragu.
“Nggak.” ujar Nane jujur dan ia tahu Nif sedang menyelidikinya.
“O…” nada suara Nif menyebutkan ‘O’ terdengar agak aneh di telinga Nane. Nane melirik gadis yang disukai oleh Dio itu dengan seksama. Nif memiliki wajah yang sangat indah. Hidungnya kecil dan.............


___________________


Bersambung......>>>>> 

RANDU, RIMBA DAN LINTANG

 Randu, Rimba dan Lintang ** Dua remaja putri sedang berdiri di tangga pertama Tembok China, sebelum melangkahka...